Cerita Batik dari Kampung Laweyan

Sudut kampung Laweyan
Sumber :
  • Fajar Sodiq/ VIVAnews

VIVAnews - Laweyan, sebuah kecamatan di Solo, Jawa Tengah ini, terkenal sebagai sentra batik. Lebih sering disebut kampung Laweyan, daerah ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Pajang. Penduduknya merupakan para pengrajin batik andal, yang mempelajari cara membatik turun-temurun.

Cerita industri batik Laweyan tak seindah motif yang dibuat para pengrajinnya. Jika kini industri batik di kampung tersebut terus menggeliat, itu setelah mengalami proses pasang surut yang cukup panjang.

Gunawan Nizar, Wakil Ketua Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan, menceritakan bagaimana masa kelam industri batik Laweyan. Pada era 1970 hingga 1980-an, ternyata regenerasi pengrajin dan pengusaha batik tak berjalan mulus.

Para anak-anak saudagar batik tersebut lebih senang berfoya-foya daripada meneruskan usaha batik orang tuanya. “Saat itu lost regeneration. Anak-anak tidak dididik untuk mempersiapkan usaha batik orangtuanya.  Orang tua juga terlalu memanjakannya sehingga kehidupan anak-anaknya hanya berfoya-foya,” kata Gunawan kepada VIVAlife, Selasa 2 oktober 2012.

Sementara itu, generasi sebelumnya sekitar tahun 1950 hingga 1960-an lebih banyak yang melanjutkan ke jenjang pendidikan perguruan tinggi. Mereka lebih memilih bekerja secara profesional dan tak mau meneruskan usaha batik orangtuanya.

“Mereka keluar dari Laweyan untuk sekolah. Setelah lulus, ternyata mereka sukses di bidang lain dan nggak mau pulang. Ada yang di luar Solo dan luar negeri,” ujar Gunawan.

Dengan kondisi seperti itu, lanjut dia, jumlah perajin batik di Kampung Laweyan menurun drastis. Hanya tinggal sekitar 10 perajin batik.

“Padahal, dulu hampir semua warga di Laweyan menjadi perajin batik. Mulai dari membatik hingga menjahit pakaian batik,” ungkap pemilik toko batik Putra Laweyan ini.

Lalu pada sekitar tahun 2004, industri batik mulai bergeliat dengan dibentuknya Forum Pengembangan Kampung Batik Laweyan. Forum inilah yang kemudian menjadi urat nadi dalam pengembangan industri batik di Laweyan. Meskipun, pada awal kemunculanya sempat terjadi pro dan kontra dari para perajin batik di kampung tersebut.

“Saat itu ada perhatian dari Pemkot Solo pada masa Walikota Slamet Suryanto untuk melestarikan kampung Laweyan sebagai kampung batik.Setelah itu diresmikan oleh Menteri Malik

Fajar. Selain itu juga dibantu promosi besar-besaran oleh Bu Nina (istri Akbar Tandjung) dengan mengundang ibu-ibu pejabat dan juga Bu Mega,” kata Gunawan.

Eksistensi Kampung Laweyan sebagai kawasan industri batik pun mulai berkembang lagi. Puncaknya, ketika batik diklaim oleh Malaysia.

“Gara-gara klaim itu, nasionalisme untuk memakai baju batik meningkat tajam. Klaim itu menyebabkan permintaan batik di Laweyan naik. Semua orang membabi buta ingin mengenakan batik,” ujar dia.

Perkembangan industri batik di Laweyan kini semakin meningkat. Menurut Gunawan, dampak positif ini makin dirasakan setelah diakuinya batik sebagai intangible heritage oleh UNESCO.

“Kini perajin batik di sini membludak, ada sekitar seratusan perajn. Kampung batik  Laweyan menjaadi destinasi wisata batik," ujarnya.

Kadin Ingatkan Kemasan Rokok Polos Bisa Picu Maraknya Rokok Ilegal