FOTO: Wisata Kelenteng China di Pinggiran Ibu Kota

Kelenteng Sam Po Kong di Semarang
Sumber :
  • Eno Dewati
VIVAlife - Perayaan pergantian tahun baru China atau lebih akrab terdengar dengan sebutan Imlek menjadi tradisi yang selalu ditunggu masyarakat. Bukan saja oleh golongan etnis Tionghoa, kemeriahan Imlek pun turut mendapat sambutan masyarakat awam.
Cup Bra Terlalu Besar Picu Gangguan Kesehatan

Di Jakarta sendiri, di beberapa sudut kota seperti pusat perbelanjaan sudah mulai diwarnai ornamen khas Imlek. Termasuk juga di kawasan pinggir Jakarta, di Pecinan Tangerang.
Jurus Turunkan Berat Badan Pakai Protein

Sedikit menilik ke belakang, Tangerang memang salah satu daerah awal pendaratan orang-orang Tionghoa. Mereka kemudian tumbuh menggenerasi hingga sekarang. Dalam kitab sejarah Sunda yang berjudul 'Tina Layang Parahyang' disebut bahwa rombongan Tjen Tjie Lung (Halung) mendarat di daerah Teluknaga, yaitu di muara sungai Cisadane pada tahun 1407.
Misteri 'Bak Mandi Tuhan' Berusia 7.000 Tahun

Para gadis yang termasuk dalam rombongan dipersunting oleh prajurit Sanghyang Anggalarang, yang merupakan wakil Kerajaan Pajajaran yang kala itu memerintah kota. Para pria juga banyak yang menikah dengan penduduk setempat. Peranakan Tionghoa hasil pernikahan tersebut kemudian membuka lahan baru sebagai tempat tinggal.

Para leluhur ini meninggalkan rentetan sejarah. Termasuk bangunan tempat peribadatan berupa kuil-kuil kuno. Kuil-kuil ini kini dibuka untuk kunjungan umum bagi masyarakat yang ingin mengenal sejarah lebih dekat, meski masih tetap berfungsi sebagai tempat peribadatan.

Masyarakat lebih akrab akrab menyebut kuil ini dengan sebutan kelenteng. Sebenarnya sebutan kelenteng ini sendiri hanya ada di Indonesia. Alunan "teng…..teng…." yang membentuk irama menjadi lekat dibandingkan dengan sebutan kuil yang tampak formal. Kali ini VIVAlife akan mengulas dua kelenteng di daerah Tangerang ini.

Kelenteng Boen Tek Bio
Berdiri pada tahun 1684, Boen Tek Bio merupakan kelenteng tertua di kawasan pemukiman China yang sering disebut China Benteng. Tepatnya di persimpangan Jalan Bhakti dan Jalan Cilame, Pasar Lama. Masyarakat China peranakan sendiri sudah menempati daerah ini lebih dari tiga abad yang lalu. 

Dentang instrumen mengiringi kekhusyukan ritual sembahyang keagamaan Budha di kelenteng ini. Beberapa orang dari generasi lama China peranakan tampak berkumpul di depan kelenteng, sebagian lagi membagikan tenaga untuk membersihkan kelenteng. Tempat ini bukan saja menjadi tempat sembahyang tapi juga menjadi tempat berkumpul untuk melekatkan keakraban. Sementara di dalamnya terlihat banyak orang berdoa sambil menggenggam hio.

Aroma bakaran hio atau dupa pun mengharumkan udara kelenteng. Memberikan keteduhan dan kenyamanan. Sama sekali tidak terasa terik menyengat. Di bagian depan, terdapat Thian Sin Lou atau Thian Gong Lou yang menjadi tempat menancapkan hio. Sengaja ditempatkan di luar, agar asap dupa tersebut mengarah ke luar, ke langit lepas. Demikian kepercayaan mereka.

Sebuah altar berukuran besar akan menyambut Anda di bagian tengah. Ada aturan tersendiri pagi pelancong yang berkunjung. Anda tidak diperbolehkan mengambil gambar dari dekat. Altar utama ini merupakan bagian yang paling disakralkan sebagai tempat pemujaan ke hadirat Tuhan atau Thian.

Jika Anda berkesempatan mengunjungi tempat ini, Anda wajib mengelilingi setiap sudut kelenteng untuk mengungkap sejarah. Di sekeliling altar utama terdapat altar-altar mini tempat dewa-dewa yang dianggap teladan. Sam Kwan Tay Tee, Sakyamuni Buddha, Bi Lek Hud, Cap Pe Lo Han, Kha Lam Ya, Konh Ce Couw Su, Thian Siang Seng Bo, Te Cong Ong Po Sat, Kwan Seng Tee Kun, Hok Tek Ceng Sin, Kong Tek Cun Ong, dan Su Ben Ciao Kun.

Beruntung kami bertemu dengan Oey Tjin Eng, yang merupakan tetua di perkumpulan etnis ini. Menurut Oey Tjin Eng, setiap kelenteng memiliki tuan rumah. Kelenteng Boen Tek Bio sendiri ditinggali oleh Dewi Kwan Im Po Sat yang diyakini sebagai dewi penolong.

Oey Tjin Eng juga menjelaskan muasal Boen Tek Bio. Boen yang berarti intelektual, Tek yang mengartikan kebajikan, dan Bio yakni tempat ibadah. Masyarakan China kuno merangkum Boen Tek Bio menjadi tempat bagi umat manusia untuk menjadi insan yang penuh kebajikan dan intelektual.

Boen Tek Bio sendiri pada awal berdiri sebenarnya merupakan rumah ibadah pribadi salah satu penduduk China Benteng ini. Baru di tahun 1844 kelenteng direnovasi secara besar-besaran. Bahkan pekerja dan para ahli didatangkan dari Tiongkok untuk merombak kelenteng tersebut.

Banyak kisah yang menceritakan keajaiban Kelenteng Boen Tek Bio. Tahun 1883 saat Gunung Krakatau meletus hingga terjadi banjir di kota Tangerang, kelenteng ini tidak mendapatkan efek tersebut. Demikian juga saat Sungai Cisadane meluap hebat di tahun 1887. Sedikitpun kelenteng ini tidak tersentuh air. Lihat foto lengkap kelenteng pada

Klenteng Boen San Bio
Jika belum puas mengunjungi Boen Tek Bio, Anda bisa mempir ke Kelenteng Boen San Bio. Tepatnya di  jalan Pasar Baru Tangerang. Berdiri  di tanah seluas 4.650 meter persegi, kelenteng ini lebih sering disebut Vihara Nimmala karena menganut tiga ajaran yaitu Buddhisme, Konfusianisme, dan Taoisme.

Halaman kelenteng ini tampak meriah dengan jajaran rapi lampion yang memenuhi seluruh atapnya. Menurut cerita sejarah, Boen San Bio pada awalnya dibangun tahun 1689 dengan sangat sederhana oleh pedagang asal Tiongkok, Lim Tau Koen.

Baru sekitar 10 tahun kemudian, para jemaat membentuk perkumpulan Boen San Bio untuk mengurus serta memelihara kelenteng tersebut. Boen San Bio sendiri mengartikan kebajikan yang setinggi langit.

Dilihat dari bangunannya yang menjulang, arti ini seperti tesampaikan. Bangunan kelenteng terdiri dari tiga lantai, dimana di lantai tiga, selain tempat pemujaan, juga dibangun ruangan bagi umat untuk melakukan semadi dan ruang tidur bagi para bante dan bikhu.

Jika jemaat yang beribadah di Boen Tek Bio memuja dan menyembah Dewi Kwan Im Po Sat. Jemaat di Boen San Bio juga memuja Sinbeng Khong-co Hok Tek Tjek Sin atau dewa bumi, Sam Kai Kong, Bie Lek Hud, Jie Lay Hud, Kwan I'm Hud Cow, Cu Song Kong, Pek How Pek Coa, Kwee Sheng Ong, Kwan Tek Kun dan Pat Sien Kwe Hay.

Di halaman depan Boen San Bio berdiri sebuah Thian Sin Lo atau hio persembahyangan berukuran 4888 kilogram. Tingginya sekitar 120 cm dengan diameter 150 cm. Hio ini terbuat dari batu onix, sejenis marmer yang didatangkan dari Sulawesi.

Thian Sin Lo ini tercatat sebagai hio persembahan terberat dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Rekor ini juga sudah didaftarkan pada Guiness Book of Records di London, Inggris.

Bagian yang paling menarik dari kelenteng ini ada di bagian belakang. Yakni sumur tua yang disebut tak pernah kering. Di masa lampau, saat kemarau panjang dan sumur lain kehabisan air, sumur ini tetap mengeluarkan air jernih dan segar.

Menurut kepercayaan, air dari sumur ini merupakan sumber rejeki bagi siapa saja yang meminumnya. Para pelancong dari Korea, Jepang, dan Taiwan yang berkunjung ke tempat inipun pasti akan meminum air sumur ini.

Selain sumur, di bagian belakang yang merupakan taman juga terdapat bangunan lain. Yakni ruang Dhamasala yang merupakan pendopo Pe Cun sebagai tempat melakukan ibadah. Pada pintu masuk ruangan ini, di sebelah kiri tampak patung Dewi Kwan Im Po Sat berukuran raksasa dengan tinggi sekitar tiga meter. Di dalam ruangan juga terdapat patung Buddha Rupang setinggi tiga meter.

Pendopo Pe Cun adalah pendopo yang tampak seperti sepasang perahu naga berwarna merah dan kuning, warna khas seni tradisional Tiongkok. Selain itu, ada pula makam salah satu  bangsawan Kerajaan Banten kuno. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya