Remaja Indonesia Menghadapi Revolusi Seksual & Reproduksi

Ilustrasi remaja putri
Sumber :
  • istockphoto
VIVAlife
Polisi Ditemukan Tewas di Mampang Jaksel dengan Luka Tembak di Kepala
- Pakar Kesehatan Reproduksi dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. dr. Siswanto Agus Wilopo mengatakan, Indonesia mengakhiri transisi demografi pertama dengan angka fertilitas total mendekati dua dan angka kematian yang rendah. Tahap selanjutnya akan terjadi transisi demografi kedua yang ditandai dengan terjadinya revolusi seksual dan reproduksi.

Perlindungan Cat Mobil Berkualitas Tinggi Hadir di Jakarta Selatan

Menurut Siswanto, revolusi ini akan menjadi masalah bangsa Indonesia yang cukup pelik karena tidak bisa dibendung lagi, kecuali berupaya mencegah dampak negatifnya agar tidak semakin parah. Ia juga mengatakan, kelompok remaja dan usia subur akan menghadapi revolusi seksual dan reproduksi dalam transisi demografi kedua.
Viral, Pria Gorontalo Temani Jenazah Ayah di Dalam Keranda untuk Terakhir Kali


Revolusi seksual dan reproduksi tersebut, ujarnya, sudah mulai terjadi di beberapa kota besar di Indonesia karena mengikuti perilaku seks dari tren budaya barat. Namun, institusi publik dan masyarakat akan semakin sulit mengendalikan perilaku seksual dan reproduksi dalam era globalisasi, khususnya meluasnya pengggunaan teknologi komunikasi elektronik.


"Para remaja ini perlu diajarkan memahami pengunaan dan menghindari penyalahgunaan kontrasepsi terkini,” ujar Siswanto seperti dilansir dari situs web UGM.


Lebih lanjut pria kelahiran Boyolali ini menjelaskan, peredaran obat-obat kontrasepsi emergensi dan aborsi medis perlu pengendalian tepat dan ketat sehingga tidak akan memberikan dampak negatif yang lebih buruk. Pasalnya, pelayanan teknologi kontrasepsi dan kesehatan reproduksi yang jatuh pada seseorang yang tidak profesional akan sangat membahayakan masa depan si remaja.


“Seperti halnya pisau dapur yang sangat tajam, obat bisa dipakai untuk memasak makanan enak atau sebaliknya bisa tidak mengenakan karena dipakai untuk pembunuhan,” ucapnya.


Seperti halnya pengendalian ketergantungan obat (NAPZA), kata Siswanto, kebijakan serupa dengan
harm reductio
n perlu diberlakukan untuk obat-obat kesehatan reproduksi. Tujuannya agar hak-hak seksual dan reproduksi bagi seseorang yang telah terjerat dalam perilaku berisiko tinggi tidak hanya dibiarkan tetapi memperoleh perlindungan.


“Untuk itu semua pihak harus memahami arah perkembangan teknologi kontrasepsi dan dampaknya pada transisi demografi kedua,” katanya.


Tidak hanya remaja, transisi demografi ini juga memberikan implikasi ganda bagi dokter kesehatan masyarakat. Pertama, dokter kesehatan masyarakat harus menangani perubahan struktur penduduk yang semakin menua di Indonesia. Kedua, dokter juga harus menghadapi revolusi seksual dan reproduksi yang terjadi pada remaja dan usia dewasa yang sangat besar jumlahnya.


Pasalnya kelompok remaja dan dewasa, terutama penduduk perempuan relatif lebih banyak. Jika pada tahun 2010, jumlah wanita subur berkisar 67,4 juta maka tahun 2020 jumlahnya mencapai 71,2 juta dan akan mencapai puncaknya 72,1 juta pada tahun 2027. (eh)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya