Mengenang Uje, Sang Ustad Gaul

Ustad Jeffry Al Buchori (Uje)
Sumber :
  • VIVAnews/ Muhamad Solihin
Jangan Ragu Masukkan Anak ke PAUD Bun, Ini 5 Manfaat Pentingnya

VIVAlife –

Sepohon kayu, daunnya rimbun.

Nasdem Bakal Gabung Koalisi Prabowo-Gibran, PKS Sebut Surya Paloh Cantik Bermain Politik

Lebat bunganya serta buahnya.

Walaupun hidup seribu tahun,

Menang di Laga Perdana Proliga, Jakarta LavAni Akui Masih Punya Kekurangan

kalau tak sembahyang apa gunanya.

Barangkali banyak umat yang masih terkenang lantunan merdu itu mengalir dari mulut seorang ustad. Ia, sang ustad yang menarik hati itu, tak pernah terdengar menggurui. Dia berkhotbah seperti sedang berbincang dengan kerabat.

Dia melantunkan ayat suci, dan kadang diselingi dengan lagu yang dinyanyikan dengan suara serak khas.  Gayanya santai. Ramah. Wajahnya terlihat tulus. Setiap kali muncul, dia bak magnet yang menarik jamaah mengalir dari berbagai penjuru. Dakwahnya tak pernah layu.

Jefri Al-Buchory, sang ustad itu, sungguh tak tergantikan. Dia akrab dipanggil Uje, semacam akronim dari UJ alias “Ustad Jefri”.  Dia kerap memakai bahasa yang populer di tengah warga kota. Guyonannya membunuh jarak antara mimbar dan massa.  “Dia seperti diagungkan,” ujar Faiz Sumarno, Produser ‘Damai Indonesiaku’, salah satu program dakwah di tvOne.

Uje bahkan disebut-sebut sebagai ‘Ustad Gaul’. Menurut Faiz, itu bukan tanpa alasan. “Disebut gaul, karena dia memang bisa membaur dengan semua kalangan,” kata Faiz. Mulai generasi tua, muda, sampai anak-anak. Yang berpendidikan, putus sekolah, bahkan yang memilih jadi preman.

Mereka akrab dengan sang ustad. Mungkin karena Uje juga jujur, tak pernah menyembunyikan masa lalunya yang kelam. Bahasanya pun sederhana, tak melangit.

Dakwah masa kini

Gaya nge-pop Uje dalam berdakwah, agaknya menciptakan tren sendiri bagi industri televisi di tanah air. Faiz menyebutkan, Uje termasuk salah satu ustad dengan rating dan share kuat untuk tayangan dakwah. Ia bahkan ikut membesarkan program ‘Damai Indonesiaku’ di tvOne.

Ketika program lain hanya tayang selama tiga puluh menit, Damai Indonesiaku sudah menjamah waktu dua jam. Dari hanya Minggu siang, menjadi dua hari di akhir pekan. Menurut Faiz, Uje termasuk salah satu nama yang pernah menduduki rating tertinggi.

Meski begitu, ramuan dakwah yang santai dan akrab itu bukanlah yang pertama. Pengamat media televisi Ade Armando, mengatakan Uje lihai memanfaatkan pergeseran industri dakwah. Sebelumnya, sudah ada pendahulunya seperti Zainuddin MZ, AA Gym, Arifin Ilham, serta Yusuf Mansur. Masing-masing punya cara unik menyampaikan dakwahnya. Benang merahnya, mereka komunikatif.

“Penampilannya atraktif, lucu, dan menawan,” ujar Ade.  Tidak seperti ulama senior yang disegani masyarakat.

Dengan kemampuan Uje yang juga komunikatif, ia turut mempopulerkan tren dakwah itu. Ringan dan tak menghakimi. Terkadang diselipi guyonan, curhatan, juga lantunan merdu ayat suci ataupun lagu Islami. Membuat ajaran agama jadi lebih membumi. “Uje datang di waktu yang tepat,” Ade menambahkan.

Bagi Ade, ia seperti mengulang gaya berdakwah Wali Songo, para penyebar Islam di Jawa. Misalnya, Sunan Kalijaga memakai wayang sebagai alat dakwah. Bedanya, Uje mengedepankan gaya santai, komunikatif, dan bahasa gaul untuk merangkul anak muda.

Ade melihat, Uje menjadikan dakwah seperti panggung teater. Kebetulan, ia memang punya latar belakang yang relevan. Sekitar tahun 1990-an, ia tergabung dalam Sanggar Kawula Muda asuhan Aditya Gumay. Bakat seninya terasah di situ. Dari seorang penari di klub malam, pria kelahiran 12 April 1973 itu mulai mengenal dunia akting.

Aksi pertamanya di atas panggung dimulai saat ia terlibat dalam pementasan Sang Desainer di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan. Sejak itu, Uje mulai banyak dilirik produser sinetron di televisi. Ia pernah membintangi sinetron Sayap Patah, Pendekar Halilintar, Opera Tiga Jaman, Kerinduan, dan Kepak Sayap Merpati Muda.

Bahkan, ia pernah didapuk menjadi Aktor Remaja Pria Terbaik tahun 1991. Tak heran jika Uje banyak mengenal selebriti.

Dari hitam ke putih

Jalan Uje menjadi pendakwah penuh lika-liku. Ia, seperti kerap dulu dikatakannya secara terbuka, punya masa lalu yang kelam. Meski dibesarkan dalam lingkungan relijius, tapi Uje pernah berjalan mencong, dan seperti diakuinya dalam sebuah wawancara, dia merasa menjadi “setannya dunia”.

Uje bahkan tak lulus sekolah pesantren. Bukan soal biaya, tapi sebagai remaja, dia rupanya cukup nakal. Ia berkali-kali mencoba kabur dari pesantren. Sampai akhirnya, karena perilaku buruk, ia dipindahkan ke sebuah Madrasah Aliyah (setingkat SMA). Tapi kenakalannya malah kian tak terbendung.

Beranjak dewasa, Uje terbelit candu narkoba. Ia juga kerap pulang pagi. Waktunya habis di tempat hiburan dan dunia malam. “Kalau pulang pagi, dia ketok-ketok kamar saya minta bukakan pintu. Soalnya Ayah galak. Dia takut,” cerita Fajar Sidiq, adik Uje.

Pernikahannya dengan Pipik Dian Irawati, seorang gadis sampul asal Semarang pun belum bisa mengubah hidupnya. Alih-alih bertaubat, ia justru melupakan tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Barang-barang milik Pipik, pernah ia jual sebagai ganjal membeli narkotika.

Untunglah, pelajaran agama yang didapat dari orangtuanya semasa kecil, masih membekas dalam diri Uje. Tuhan juga seperti menghendaki jalan hidupnya berubah. Uje mulai paranoid. Dia selalu dihantui mimpi buruk, seperti dikejar kematian.

Berkali-kali ia berupaya menghentikan kebiasaan buruknya, dan gagal. Akhirnya sang ibunda Tatu Mulyana membawanya umroh ke tanah suci. Di rumah Allah itulah, Uje mengalami pengalaman relijius luar biasa.

“Setelah ziarah ke makam Nabi (Muhammad), tiba-tiba dia menangis. Sampai dua jam,” kata Fajar. Uje bercerita, ia seakan melihat rekaman masa-masa gelapnya. “Dia bilang rasanya seperti dilempar terus dijedotin ke tembok,” ujar Fajar, menirukan cerita kakaknya.

Sejak itu, Uje berubah drastis. Ia rajin shalat, dan makin mendalami agama. Setelah yakin, barulah ia memutuskan berdakwah. Membagikan ilmu agama dan pengalaman ke seluruh masyarakat. Ini pun, kata Fajar, tak semudah membalik telapak tangan. Uje banyak dicibir lantaran masa lalunya yang kelam.

“Pernah dia jadi imam shalat, ditinggal makmumnya. Saat salam dia menengok ke belakang, sudah kosong itu masjid,” ujar Fajar lagi.

Ia menuai protes demi protes. Ada yang mempersoalkan masa lalunya. Ada pula yang mempersoalkan bahasa gaul yang dipakainya saat berdakwah.

Dakwah pertama Uje, dilakukan di sebuah masjid di kawasan Mangga Dua. Sang istri lah yang saat itu menuliskan naskah untuknya. Honor yang diterima Uje tak banyak. Tiga puluh lima ribu rupiah. Tapi Uje tak pernah mengeluh. Dia menerima panggilan dakwah di mana-mana.

Dakwah tak pernah mati

Tapi ustad muda kecintaan umat itu hidupnya singkat. Di usia 40 tahun, pada Jumat 27 April dini hari, Uje menghembuskan nafas terakhir. Ia tewas karena kecelakaan di kawasan Pondok Indah. Motor sport Kawasaki Ninja E650 yang ditungganginya menabrak trotoar dan pohon.

Ironis memang. Motor yang selama ini menjadi hobi sampingan Uje, justru mengantarkannya ke kematian. Ribuan masyarakat menangisi kepergiannya. Mereka berduyun-duyun datang ke ikut shalat jenazah di Masjid Istiqlal, sampai mengantarkan sang ustad ke pemakaman di TPU Karet.

Sepeninggal Uje, yang pada hari ini tepat 40 hari dia meninggal, industri dakwah tetap menyala. Geliat dakwah masih terus terasa. Mati satu tumbuh seribu. Patah tumbuh hilang berganti. Faiz menuturkan, tayangan dakwah Damai Indonesiaku justru makin naik ratingnya setelah kepergian Uje.

“Sempat terpuruk di Januari-Februari. Mulai April-Mei malah naik,” ujarnya.

Ia yakin, tren dakwah yang komunikatif dan interaktif akan terus berkembang. Pasalnya, setelah Uje meninggal banyak pihak yang mengambil hikmah tersendiri, seperti para sahabatnya. Faiz juga melihat adanya kecenderungan regenerasi di kalangan para da’i.

“Uje punya generasi penerus. Persis seperti Zainuddin MZ meninggal, Uje yang meneruskan beliau. Dakwah tidak akan pernah mati,” kata Faiz. Namun, ia tak bisa menyebutkan dengan pasti, siapa yang menurut kaca mata industri dakwah bakal meneruskan jejak Uje. Menurutnya, tiap ustad punya cara unik berbicara ke masyarakat.

“Misalnya Ustad Yusuf Mansur, dengan sedekah,” ia mencontohkan. Nama-nama seperti Arifin Ilham, Habib Munzir, serta Arifin Ilham pun diyakininya akan mendapat tempat di hati jamaah.

Ruang tobat

Opick adalah sahabat yang sangat dekat dan mengetahui aktivitas Uje dalam berdakwah. Opick pun tak bisa melupakan sosok Uje yang baginya adalah seorang teman yang baik dan tak pernah mengeluh. Pelantun 'Tombo Ati' itu pun merasakan perhatian Uje semasa masih hidup. "Dia ingatkan saya untuk menjaga kesehatan," ujar Opick.

Namun, itu sudah terlewati. Bagi Opick dirinya pun merasa dicambuk oleh ucapan-ucapan Uje yang masih ada di pikirannya. Uje selalu ingatkan Opick tentang kematian.

"Kepada saya, beliau merasa banyak melakukan kesalahan. Ingat Pick, saya banyak salah, kita semua banyak salah. Umur tidak ada yang tahu," ujar Opick menirukan suara Uje.

Mencari uang bersama pun pernah dilalui Opick bersama Uje. Opick menceritakan dirinya pernah menggarap lagu bersama Uje di tahun 2007. Lagu itu kata Opick cukup laris sebagai nada dering (ring backtone).

"Lagu Ya Rabbana itu saya langsung sedih ingat Uje. Itu adalah masa lalu saya sama dia," ujarnya.

Panggung dakwah pun sebenarnya adalah lahan rezeki bagi banyak pendakwah. Opick mengaku meskipun saat itu Uje menjadi idola bagi masyarakat, Uje tak pernah menutup kesempatan bagi pendakwah muda.

Ustad berdarah Ambon itu, kata Opick, justru memberikan kesempatan bagi da'i lain untuk mengisi sejumlah acara pengajian.

"Dia orang yang luar biasa dan baik. Saya lihat dia orang yang tidak pernah iri temannya yang sukses," kata Opick. "Dia memberi kesempatan temannya untuk maju."

Jelang kepergiaan sang sahabat itu, Opick seperti mendengar kata-kata yang seolah Uje hendak "berpamitan".  "Dia bilang akhir-akhir ini agak aneh, merasa dirinya sangat banyak dosa dan kekurangan. Saya menangkap ada ruang tobat yang besar di pengujung hidupnya. Ingin kembali kepada Allah dengan murni," ujar Opick saat itu.

Setelah Uje pergi, mungkin akan datang para ustad lain menggantikannya di televisi. Tapi seperti yang diingatkan Ade Armando, dakwah di televisi jangan hanya berhenti sebagai pertunjukkan saja, tapi berikan umat dakwah yang hangat dan cerdas. “Jangan seperti fesyen show, dakwah harus lebih mengedepankan substansi,” ujarnya.

VIVAlife akan menayangkan secara Live Streaming Selasa 4 Juni besok tahlilan 40 harian Ustad Jeffry Al Bukhori. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya