Plus Minus Katering Makanan Bayi

Makanan bayi
Sumber :

VIVAlife –  Hari mulai terang tanah saat Keira tertidur pulas. Bayi berusia enam bulan itu masih meringkuk di tempat tidur. Di kamarnya,  sang ibu, Mela, tengah bersiap berangkat menuju kantor di  kawasan Kuningan.  Jarak rumah dan lokasi kerja yang cukup jauh, mengharuskan wanita berusia 29 tahun ini berangkat lebih pagi. Sekitar pukul 06.00 WIB, Mela dan sang suami sudah meninggalkan rumah di kawasan Bekasi.

Drama Penalti Diulang Justin Hubner hingga Penalti Gagal Bikin Deg-degan Suporter Timnas

Alhasil, Mela tak sempat menyiapkan sarapan untuk sang buah hati. Namun, sebagai seorang ibu, ia tetap ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya. Makanan instan jelas tak masuk dalam kriteria Mela.  Tak habis akal, ia pun mencari informasi mengenai makanan sehat untuk bayi.

“Awalnya aku browsing dan ikut milis. Dari situ banyak dapat informasi,” ujar Mela.

Anggota DPR Salut Kejagung Berani Usut Dugaan Korupsi di Sektor Tambang

Setelah mengumpulkan informasi, wanita yang bekerja sebagai kontributor kosmetik itu akhirnya memilih jasa katering makanan bayi.  Menurut Mela, katering makanan bayi lebih baik ketimbang memberikan Keira asupan instan.

“Kita bisa kontrol pesannya mau apa. Aku juga ganti terus menunya setiap hari biar anakku nggak bosan,” ucapnya.

Komentar Erick Thohir Usai Timnas Indonesia Tembus Semifinal Piala Asia U-23

Kini, Keira sudah berusia 20 bulan. Dengan kesibukannya di kantor, Mela pun masih setia berlangganan katering makanan bayi. Namun, tak sekerap dahulu. Katering makanan bayi memang sangat membantu bagi ibu pekerja seperti dirinya.

“Apalagi aku nggak punya pembantu,” ujarnya.

Pengalaman berbeda dialami seorang ibu rumah tangga, Nadia.  Ia mengalami kesulitan membuat makanan bayi saat tengah menginap di sebuah hotel dalam waktu cukup lama. Kamar yang ia tempati tidak memiliki dapur khusus. Dalam kondisi mendesak, wanita berusia 29 tahun ini, akhirnya menggunakan jasa katering makanan bayi.

“Anakku belum boleh makan garam.  Jadi nggak mungkin beli di restoran sekitar,” ucapnya.

Diminati ibu pekerja

Kian banyaknya wanita bekerja, tren katering makanan bayi ini pun diprediksi meningkat. “Saat ini pelanggan kami untuk katering makanan khusus bayi adalah 90 persen ibu pekerja. Kalau dari data kami meningkat terus,” ucap Presiden Direktur Mymeal Catering, Ignatius Zaldy.

Ignatius yang membuka bisnis katering sejak 2005, mengaku baru menyediakan makanan khusus bayi sekitar satu tahun kemudian. Hal ini, ujar Ignatius, berawal dari permintaan pelanggannya sendiri.

Dalam menyediakan jasa katering makanan bayi, Ignatius tak mau sembarangan. Ia menerapkan prinsip makanan produksinya hanya diperuntukkan bagi bayi usia tujuh bulan ke atas.

“Kadang mereka suka lupa dipikirnya bayi tiga bulan sudah boleh makan. Kita kasih tahu kalau belum boleh,” katanya.

Selain melibatkan tim ahli gizi untuk menentukan jenis makanan, Ignatius juga meminta data pribadi dan riwayat kesehatan bayi kepada pelanggan. Tujuannya untuk memastikan apakah bayi memiliki alergi terhadap jenis makanan tertentu.

Setiap hari, karyawan Ignatius akan mengantar makanan langsung ke pelanggan dengan menggunakan termos khusus tahan panas. Makanan yang diantar dipastikan benar-benar segar dan organik.

“Kalau untuk makan pagi, kita masak pagi-pagi. Untuk siang, kita masak untuk yang siang. Buat makan malam, kita buatnya sore,” ucap pria yang pernah menjual peralatan kesehatan ini.

Selain Mymeal Catering, terdapat jasa boga khusus anak lainnya yang juga dirilik ibu pekerja. Didirikan pada 2010, katering Bebitang terinspirasi dari pengalaman salah seorang pemiliknya, Nandra Janniata. Menurut sang kakak yang juga ikut andil dalam membangun bisnis Bebitang, Neura Azzahra, Nandra sempat mengalami kesulitan memberikan makanan kepada buah hatinya yang masih bayi karena kesibukan di kantor.

“Waktu itu, dia sempat cari katering agak susah. Jadi kita pikir kenapa nggak bikin saja,” kata ibu satu anak ini.

Neura mengaku, pihaknya memang tak bekerjasama dengan ahli gizi dalam membuat menu makanan. Ia mengandalkan ilmu yang diperolehnya saat belajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

“Kebetulan adik saya juga aktif di salah satu milis kesehatan rumahan. Jadi ya kurang lebih kita cari tahu tentang gizi itu sendiri,” ucapnya.

Menurut Neura, rata-rata pelanggannya adalah ibu yang tak sempat membuat makanan untuk bayi mereka karena sibuk. Namun, tak sedikit pula yang berlangganan karena kesulitan memberikan makanan kepada anak.

“Ada juga yang putus asa karena anaknya nggak mau makan,” kata Neura.

Tetap kritis

Seiring meningkatnya jumlah jasa katering makanan bayi, kekhawatiran akan kecukupan nutrisi  muncul di benak para ibu. Terlebih rata-rata jasa katering makanan belum mengantongi izin dari BPOM.

Menurut ahli gizi, Dr. Tinuk Agung Meilany, katering makanan berbeda dengan makanan berlabel yang sudah terdaftar dan diawasi. Tak hanya makanan, katanya, cara memasak pun harus diawasi. Lebih lanjut Tinuk menyarankan kepada para pelanggan katering makanan bayi agar berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter.

“Kalau untuk bayi, ibu harus lebih kritis,” ujar Tinuk.

Senada dengan Tinuk, dokter anak dari RS Graha Permata Ibu,  Dr. Rini menilai saat ini belum ada peraturan khusus sehingga  katering makanan bayi yang muncul bervariasi.  Dalam memasak makanan, ujarnya, seseorang harus tahu kalori-kalori yang dibutuhkan bayi.

“Untuk katering bayi ini perlu ada peraturannya. Mereka harus bisa menjamin kalorinya tepat atau tidak. Karena kalori yang dibutuhkan bayi kan berbeda-beda,” ucap Dr. Rini.

Peraturan dari pemerintah ini, katanya sangat penting. Apalagi jika bisnis ini semakin menjamur. Ia khawatir akan ada penggunaan bahan pengawet .

“Misalnya mereka sudah bisa mengirim ke seluruh Indonesia, nanti mereka bisa saja pakai pengawet. Jadi intinya harus ada yang mengatur,” ujarnya.

Ia juga mengatakan sehat atau tidaknya katering makanan bayi harus dilihat dari cara pembuatan, takaran gizi, dan kalori. Jika tidak ada konsultasi dengan dokter, konsumen bisa melihat latar belakang pembuatnya.

“Cara memasak juga harus diperhatikan. Karena cara memasak juga dapat mempengaruhi gizi dan kandungan zatnya. Bayi kan tidak selalu toleran, jadi harus tahu bayi kalau sensitif bagaimana,” kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya