VIDEO: Komunitas Yoga Gembira, Solusi Sehat Gratis

Ilustrasi yoga.
Sumber :
  • istockphoto
VIVAlife -Di tengah kejamnya macet lalu lintas Jakarta, siapakah yang Anda percaya buat mendapat tumpangan? Di jejaring sosial twitter, kerap muncul pesan seperti ini:
Rendahnya Literasi Keuangan Picu Meningkatnya Korban Pinjol Ilegal

"@agus: PGC-Univ Budi Mulia/ today jam 08.00/ via kemang-kebayoran-cipulir/1 seat motor helm/share perasaan #BeriTebengan."
Jangan Sampai Terjerat Pinjol, Ini Tips Kelola Keuangan Lebih Cerdas

Itu bukan sekadar kicauan biasa. Si pengirim sedang menawarkan tumpangan buat siapa saja yang ingin duduk di boncengan motornya. Tentu, informasi itu menjadi penyelamat bagi yang tercekik oleh jam-jam macet di Ibukota. Lalu apa maksudnya "share perasaan" itu? Jangan salah duga. Itu artinya Anda bisa menumpang gratis. Yang penting ngobrol, dan saling berbagi cerita.
WHO: Imunisasi Global Menyelamatkan 154 Juta Jiwa Selama 50 Tahun Terakhir

Inilah keajaiban twitter. Bagi warga urban yang sibuk, dan nyaris tak sempat bersosialisasi dengan sesama, lalu media sosial itu menjadi penyelamat tali silaturahmi. Dari sekadar curhat, media sosial telah jadi piranti ampuh buat berbagi info penting dengan sesama. 

Sosiolog Roby Muhamad, mengatakan media sosial berhasil mempopulerkan tradisi warga sejak zaman dulu: bergaul akrab dengan kerabat atau kenalan.
"Teknologi itu sifatnya mempermudah kehidupan," ujar Roby. Maka, media sosial di Internet pun menjadi ajang  memperketat relasi sosial. 

Dengan kemudahan akses lewat teknologi informasi itu maka terbentuklah beragam kerumunan: komunitas dari orang-orang yang berbagi kesamaan pandangan, atau minat.  "Intinya adalah ngumpul. Sama seperti jaman dulu biasanya orang ngumpul di warung kopi kemudian membuat perkumpulan," ujar Roby.

Di tengah kegersangan silaturahmi antar warga perkotaan, maka komunitas di jejaring sosial menjadi sebuah kebutuhan. Dengan cerdik mereka menyiasati aneka keterbatasan ruang serta fasilitas kota. Dari soal mencari dan menawarkan tumpangan, sampai berkumpul untuk olahraga bersama. Atau sekadar mencari alternatif aktivitas bermutu di akhir pekan.

Simak kisah sejumlah komunitas cerdik di twitter, yang berujung pada aksi nyata: cari tebengan gaya @nebengers, Yoga gembira @SocialYogaClub, dan kegiatan akhir pekan @wikentanpamall. 

[Bagian 2 dari tiga tulisan. Baca artikel sebelumnya: ].

Kenekatan @SocialYogaClub 

Lain nebengers, lain pula Yoga Gembira atau lebih dikenal Yogem. Komunitas yang melakukan aksinya setiap Minggu pagi di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat ini bermaksud memasyarakatkan olahraga yoga. 

Yoga yang kerap dikategorikan sebagai olahraga elit, kini bisa diikuti siapapun tanpa harus mengeluarkan biaya, alias gratis. Seperti Minggu pagi lalu. Saat suara burung dan paparan hangat matahari menemani sekitar lima puluh orang yang sudah berkumpul di sisi taman. 

Mereka  sudah siap dengan pakaian olahraga dan menggelar matrasnya masing-masing. Bergerak dengan jiwa, menyatukan diri dengan alam. Mereka tampak tenang. Yang terdengar hanya suara instruktur memberikan aba-aba untuk setiap gerakan. 

Kekhusyukan ini yang kemudian menular pada mereka yang berada di sekitar taman. Mereka yang datang ke taman hanya untuk jalan-jalan santai, mengurungkan niat awal. Mereka lalu bergabung, mengikuti yoga ini. Lihat video selengkapnya

Adalah Yuddhi Widdyantoro, penggagas komunitas Yogem ini. Pria yang sudah mengajar yoga lebih dari 20 tahun ini berinisiatif untuk memperkenalkan yoga kepada masyarakat umum. Ia dibantu rekannya Dandi Arimurti.

"Kita pikir, yoga itu hanya belum diperkenalkan ke masyarakat. Jadi kita perkenalkan yoga ke masyarakat umum dan membuktikan haram nggak sih, kalau cuma berolahraga bersama," ujar Dandi. 

Ya, beberapa tahun lalu yoga sempat dianggap sebagai olahraga yang haram dilakukan. Karena ritualnya diidentikkan pada ajaran agama tertentu. Fatwa yang diberikan oleh Dewan Fatwa Nasional di Malaysia ini cukup meresahkan para pelaku yoga. Beberapa studio yoga bahkan terancam tutup karena sepi peminat.

Yuddhi dan Dandi kemudian memanfaatkan ruang publik untuk menggelar yoga bersama. Awalnya mereka menggunakan beberapa taman di  areal Jakarta Selatan. Seperti Taman Jenggala, dan Taman Pondok Indah di tahun 2009. 

Baru di tahun 2010 mereka menetapkan Taman Suropati sebagai tempat bernaungnya komunitas ini. Alasannya sederhana, taman ini paling terawat. Di taman inipun mereka tak perlu mengantongi izin khusus. 

Kebal diusir

Kegiatan ngumpul mereka tak lantas mulus. Pertama kali menggunakan Taman Suropati, komunitas yoga ini mendapat protes dari rumah tinggal Duta Besar Inggris. Pengeras suara yang mereka gunakan sebagai instruksi dianggap mengganggu. 

"Jadi dulu itu ada peraturan tidak tertulis, kalau apapun yang mengganggu mereka seperti kamera yang menyorot ke arah mereka saja nggak boleh," ujar Yuddhi.
Namun, kelompok ini sudah kadung cinta dengan Taman Suropati. Mereka tetap melakukan yoga di sana, meski kerap dihampiri dan dipaksa untuk menghentikan kegiatan.

"Lama-lama berhenti dengan sendirinya aja. Capek juga kali mereka ngusir kita terus," ujar Dandi sambil tertawa.

Pria yang juga bekerja di sebuah perusahaan mesin ini mengaku bahwa hal tersulit bukanlah pengusiran itu. Ia malah lebih kesulitan menghimpun anggota. Tapi Yuddhi tak menyerah. Ia hanya bermodal semangat untuk menularkan manfaat yoga. 

"Saya ini dulu cepat marah, punya sakit fisik juga seperti migrain, liver dan banyaklah. Setelah ikut yoga, semuanya normal. Saya lebih bisa atasi emosi dan jadi lebih sehat. Itu yang ingin saya bagi," papar Yuddhi.

Lewat twitter resmi Yogem @SocialYogaClub para pengurusnya   menginformasikan jadwal kegiatan dan isu-isu yoga.

"Awalnya cuma lima orang, kita melakukan gerakan-gerakan yoga disini. Diliatin sama banyak orang, cuek saja. Tapi lama-lama mereka penasaran dan ikutan," Dandi melanjutkan.

Satu tahun kemudian, Yogem mulai diminati. Selain karena kegiatan ini tidak dipungut biaya, kegiatan yoga tersebut juga tidak memaksakan pesertanya untuk rutin mengikuti yoga setiap pekannya.
 
Dandi menuturkan, ada banyak peserta yang seringkali datang dan pergi. Alasannya: susah bangun pagi, malas, atau kesibukan yang padat. Ini manusiawi. Dandi pun pernah terserang virus itu. Ia mengaku tidak setiap minggu datang untuk latihan yoga. "Kalau saya kan nggak ngajar, saya cuma ikut mengurus yoga gembira. Kalau mas Yuddhi ini yang nggak bisa kalau nggak hadir," ujarnya.

Bagi Yuddhi yoga adalah jiwanya. Ia bahkan mengibaratkan yoga seperti bernapas. Jika absen yoga,  ia merasa tidak bernapas. Saat ia berhalangan hadir, biasanya dikarenakan ia harus mengajar yoga di tempat lain. Hal tersebut bukan alasan berhentinya Yogem di Taman Suropati. Selalu ada instruktur lain yang menggantikan.
 
Gerimis bubar

Satu lagi yang menjadi kendala gerakan Yogem ini. Mereka sangat bergantung pada cuaca. Saat cuaca tak mendukung, kegiatan ini pun urung. Misalkan saja gerimis yang datang tiba-tiba, atau malah hujan yang tanpa aba-aba.

"Nama lain dari Yoga Gembira kan yoga misbar. Kalau gerimis bubar," ujar Dandi tertawa. 

Pernah suatu ketika, langit Jakarta di hari Minggu pagi terlihat cerah, namun di tengah kegiatan hujan tiba-tiba turun dan mereka terpaksa menghentikan kegiatan yoga.

"Yang nyebelinnya itu kalau awalnya udah panas kayak gini, terus tiba-tiba hujan. Kita belum savasana. Savasana itu gerakan berbaring sambil menenangkan pikiran, biasanya diakhir. Itu penting supaya tubuh bisa rileks kembali. Nah kalau tiba-tiba hujan, nggak bisa savasana, itu badan nggak enak, jadinya ya udah, pulang aja tidur di rumah," ujarnya tertawa.
 
Namun Yuddhi dan Dandi menjelaskan, bahwa itulah istimewanya yoga. Mereka yang beryoga harus mampu menerima kondisi alam. Bagi Yuddhi tidak ada solusi lain selain pulang ke rumah dan tidur jika mereka tidak sempat lakukan savasana. 

Serba sukarela

Di luar berbagai halangan yang dihadapi, klub yoga ini ternyata juga mendapatkan sambutan baik instruktur yoga. Dandi menuturkan bahwa instruktur yoga yang melatih ini tidak dibayar. 

"Instruktur yang sudah mengerti makna dari yoga, biasanya tidak akan masalah dengan bayaran. Saya juga sering menjelaskan bahwa yoga ibarat pohon yang berbuah, tidak hanya bermanfaat untuk alam tapi juga untuk manusia," ujarnya.

Yogem juga tidak mengajari jenis yoga tertentu, semua gerakan yoga diajarkan di sana. Karena menurut Dandi, Yogem bukanlah tempat untuk belajar yoga, tetapi merupakan tempat untuk berkumpul dan berolahraga bersama. 

Ini mengapa Yogem bisa diikuti siapapun, termasuk awam. Mereka diajarkan, dibantu saat harus melakukan gerakan sulit, dan saling berbagi. Persis seperti moto yang dimilikinya, yaitu beryoga, bergembira, berilmu, beramal. 

"Bergembira karena dilakukan dengan menyenangkan, seperti tadi ada gerakan yang berpasangan.  Berilmu karena kita sering lakukan sharing di beberapa sesi. Biasanya diakhir, kalau ada yang mau tanya-tanya kita kasih kesempatan," ujar Yuddhi.

Untuk butir terakhir, yakni amal, mereka melakukannya dengan mengumpulkan sumbangan dari para peserta yoga yang kemudian digunakan untuk kegiatan sosial. 

Satu lagi komunitas dunia maya yang tak kalah seru, @wikentanpamall. Kelompok ini menggagas alternatif liburan urban, tanpa harus ke mall. Simak kisahnya melalui. (np)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya