Inovasi Lima Remaja Indonesia di Pentas Dunia

Saiful Syadir
Sumber :
  • VIVAlife/ Tasya Paramitha

VIVAlife - Bumi sedang sekarat. Bencana ekologi mengancam. Tingginya persentase eksploitasi hutan, bertambahnya kebiasaan buruk yang merusak lingkungan, menjadi penyebabnya. Tak heran, beberapa tahun belakangan kampanye cinta lingkungan begitu digaungkan.

Penemuan Kerangka Manusia Pakai Sarung dan Peci Bikin Geger Pendaki Gunung Slamet

Nyaris seluruh perusahaan melabeli produknya dengan go green. Gerakan perubahan kebiasaan yang merusak lingkungan, juga dicanangkan. Kepedulian terhadap ekosistem meningkat drastis. Manusia, baik tua maupun muda, berlomba-lomba memikirkan cara terbaik menyelamatkan bumi.

Di Indonesia, ada setidaknya lima remaja yang berupaya memutar otak demi solusi cerdas mengatasi persoalan lingkungan. Mereka mencipta proyek-proyek kreatif, yang tak hanya dapat memperbaiki pencemaran tetapi juga berpotensi dikembangkan menjadi bisnis.

Wanita Open BO di Dermaga Pulau Pari Dilaporkan Hilang Sebelum Ditemukan Tewas

Keunikan inovasi yang mereka ciptakan, bahkan mengangkat nama Indonesia sebagai negara pecinta lingkungan, di mata dunia. Sebab, karya para remaja itu akan mewakili Ibu Pertiwi ke panggung internasional di Leverkusen, Jerman, 11-15 November 2013 mendatang. Pada VIVAlife, mereka membeberkan masing-masing produknya.

Atika Putri Astrini

Petugas Damkar Sebut Korban Tewas Terpanggang Akibat Kebakaran Toko Frame Mampang

Tingginya penggunaan kantong plastik di Indonesia, menjadi sorotan mahasiswa semester 4 Jurusan Manajemen dan Bisnis Universitas Padjajaran Bandung ini. Ia prihatin, sebab plastik membutuhkan waktu ribuan tahun untuk bisa hancur menjadi bagian dari bumi.

Ia lantas mencipta tas belanja cerdas bernama Vertesac. Nama itu diambil dari bahasa Perancis. “Verte artinya hijau, dan Sac artinya tas,” ujarnya menerangkan. Agar praktis, tas itu sengaja diciptakan dengan konsep lipat. Uniknya, tas itu juga bisa digunakan sebagai kartu anggota atau kartu diskon.

Secara teknis, Vertesac mengintegrasikan sistem Radio Identification (RFID) yang bisa diaplikasikan dengan telepon seluler melalui QR Code. Fungsinya, melacak aktivitas belanja konsumen. Bahannya ramah lingkungan dan bisa didaur ulang, sehingga menghemat pemakaian kantong plastik.

Ide itu, kata Atika, muncul sejak tahun 2011. “Waktu itu saya bekerja sama dengan tim dari Institut Teknologi Bandung untuk mengembangkan teknologi tas cerdas,” jelasnya. Untuk mengembangkan idenya, Atika memberdayakan masyarakat Desa Cimareme, Jawa Barat yang biasa memproduksi tas.

Dahulu, desa itu terkenal sebagai perajin tas kualitas ekspor. Bisnis mereka sempat gulung tikar. Berkat ide Atika, masyarakat desa itu kembali punya aktivitas dan sumber penghasilan.

Tak hanya itu, Atika juga melibatkan perancang tas agar produknya lebih fashionable. “Supaya semakin banyak anak muda yang tertarik menggunakan tas ini,” ucapnya beralasan. Rencananya, ia akan membanderol Vertesac dengan harga Rp75 ribu per buah.

Itu sudah termasuk tutorial penggunaan tas, sejarah, informasi manfaat, dan garansi selama setahun. “Setelah satu tahun, tas bisa didaur ulang dan diolah lagi menjadi kain perca untuk membuat produk lain,” ujar Atika lagi.

Ia optimistis, penjualan tas cerdas itu mencapai 60 ribu buah per tahun. Tak ayal, produknya terpilih sebagai "The Best Project" dalam Bayer Young Environmental Envoy (BYEE) Indonesia 2013. Ia akan menjadi unggulan Indonesia dalam BYEE level internasional di Jerman.

Saiful Syadir

Alih-alih mencipta produk inovatif, Saiful lebih memilih merehabilitasi hutan mangrove di Pulau Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Empat tahun belakangan, mahasiswa Fakultas Kesehatan Universitas Hasanuddin Makassar ini terjun langsung mengadakan workshop soal mangrove ke masyarakat.

“Saya berusaha mengedukasi masyarakat mengenai manfaat penanaman mangrove,” tuturnya pada VIVAlife. Manfaat itu di antaranya: mencegah erosi pantai, menjadi sumber daya bagi spesies laut, dan dijadikan budidaya ikan pembibitan.

Sebelumnya, masyarakat setempat menjadikan mangrove sebagai arang kemudian dijual seharga Rp12 ribu per kilogram. Saiful kemudian hadir membawa pesan soal pentingnya melestarikan mangrove. Untuk mencapai Pulau Tanakeke, ia harus menumpang kapal nelayan selama tiga jam.

Saat mulai kuliah, intensitasnya mengunjungi pulau itu kian intens. Sengaja ia padatkan jadwal kuliah menjadi tiga hari saja. Sisanya, ia gunakan untuk menjadi relawan guru bagi penduduk desa di Pulau Tanakeke. Sampai akhirnya, rehabilitasi mangrove menjadi mata pelajaran muatan lokal di sana.

Belakangan, Saiful sendiri mulai aktif menanam mangrove bersama masyarakat setempat yang tergabung dalam Komunitas Pecinta Mangrove. Usaha Saiful tak sia-sia. Hutan mangrove di Pulau Tanakeke meningkat menjadi 568 hektare pada tahun 2012, dari 550 hektare di tahun 2003.

Tak hanya rehabilitasi, Saiful juga berencana menjadikan mangrove sebagai daya tarik wisata Pulau Tanakeke. Pemikiran kreatif pemuda asal Desa Barrammase, Takalar itu diganjar jawara dua BYEE Indonesia 2013, dan juga ikut serta mewakili negeri ini ke Jerman.

Nana Diana

Limbah kertas bisa jadi benda yang lebih bermanfaat di tangan mahasiswi Jurusan Matematika Universitas Syiah Kuala Aceh ini. Ia menjadikannya batu bata yang bisa digunakan sebagai material konstruksi bangunan. Kata Nana, ide uniknya itu tak lepas dari keseharian sebagai mahasiswi Matematika.

“Kuliah Jurusan Matematika banyak memakai kertas,” ucapnya. Sehari, teman-temannya di kampus bisa menghabiskan berkilo-kilo kertas hanya untuk media coret-coretan. Ia kemudian berkonsultasi dengan seorang dosen Teknik Sipil di kampusnya, yang pernah dua tahun meneliti batu bata kertas.

Agar berbeda, Nana membuat batu bata berkualitas lebih baik dengan penggunaan bahan kertas bekas lebih banyak. Proyek itu dibuatnya sekitar tiga bulan lalu. Ia menamainya: Economical Hashi. Bahan dasarnya sangat ramah lingkungan, yakni kertas bekas dan abu sekam.

Nana menjelaskan, batu bata buatannya memiliki karakteristik isolasi termal yang baik. Tepat digunakan di daerah rawan gempa seperti Aceh. Itu sudah diujinya di laboratorium kampus. “Batu bata kertas meminimalisasi kerusakan bangunan saat gempa karena massa beban yang kecil,” katanya.

Hingga kini, remaja 19 tahun itu telah membuat 100 buah batu bata kertas. Ia menghabiskan sekitar 20 kilogram kertas untuk itu. Ke depan, ia juga berencana melibatkan penggunaan tisu, karena memiliki karakteristik yang sama dengan kertas.

Nofalia Nurfitriani

Mahasiswi Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran Bandung ini prihatin akan tingginya angka pencemaran tanah. Ia pun berinisiatif memanfaatkan tanaman mendong. Itu merupakan tanaman sejenis rumput yang biasa hidup di rawa dan banyak menyerap air.

Di Jawa Barat, mendong dijadikan bahan dasar pembuatan tikar. Sebelumnya, ia dijemur hingga kering.

Menurut Nofalia, mendong mampu menyerap logam berat dan senyawa kimia dari limbah pabrik tekstil. Ia pun menawarkan pada petani di kawasan Rancaekek, Jawa Barat, untuk menanam mendong di sekeliling sawahnya. Dengan begitu, tanah menjadi lebih sehat dan subur.

“Mereka sangat antusias, karena kebanyakan sudah putus asa dengan kondisi tanah yang tercemar,” ia menuturkan. Terdapat beberapa metode menanam mendong agar menyehatkan tanah. Bisa ditanam mengelilingi sawah, atau hanya pada bagian tengah saja.

Setiap bulan, Nofalia membawa sampel tanah di sawah untuk diuji di laboratorium. Terbukti, tingkat senyawa kimia dan logam berat dalam tanah menurun setelah ditanami mendong. Meski hasilnya tidak drastis, ia optimistis dalam jangka panjang mendong berdampak positif.

Tak cukup sampai di situ, remaja yang bercita-cita menjadi Menteri Pertanian ini juga memanfaatkan mendong sebagai bahan pembuatan kerajinan tangan. Sehingga, ia bisa memberi manfaat ekonomi tambahan bagi masyarakat sekitar.

Achmad Solikhin

Jepara, kampung halaman mahasiswa Institut Pertanian Bogor ini merupakan ‘sarang’ para perajin mebel dan ukiran kayu. Limbah kayu dan serbuk-serbuk gergaji yang dihasilkan, dimanfaatkan Solikhin untuk membuat berbagai kerajinan cantik.

“Kesadaran masyarakat Jepara akan limbah furnitur makin luntur. Daripada dibakar, kenapa tidak saya manfaatkan?” pikirnya. Memang, limbah kayu biasanya dibakar untuk oven pengeringan furnitur. Atau, dibiarkan begitu saja. Jika membusuk, kata Solikhin, itu bisa menciptakan gas metan yang berbahaya.

Dibantu sekelompok masyarakat setempat, ia pun membuat papan biokomposit yang berkekuatan sama seperti kayu solid. Ia juga memanfaatkan limbah pertanian, seperti jerami, sekam, dan daun-daun kering yang gugur dari pepohonan.

Limbah-limbah yang telah dispesifikasikan itu, ditambahkan adesi sebagai bahan perekat. Kemudian, diletakkan dalam cetakan papan komposit. “Proses pembuatannya sangat cepat. Hanya 15 menit,” ia menuturkan. Setelah kembali solid, ia bisa mengkreasikannya menjadi berbagai furnitur dan kerajinan tangan.

Beberapa karya yang sudah pernah dibuatnya: kaligrafi, meja, dan jendela dengan ukiran khas Jepara. Dengan begitu, Solikhin bukan hanya memperbaiki lingkungan dan memberi peluang bisnis, tetapi juga melestarikan budaya khas kampung halamannya.

Ke depan, remaja 22 tahun ini berencana memanfaatkan botol plastik untuk dijadikan perekat limbah kayu, sebagai pengganti adesi. “Jadi semakin banyak limbah yang termanfaatkan,” ujarnya sambil tersenyum.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya