Rasa Global Kuliner Lokal

Martabak 56A
Sumber :
  • VIVAlife/ Laras

VIVAlife – Soal selera, orang Indonesia tak terhindar dari pengaruh Barat. Pun dengan urusan lidah dan perut. Terbukti dengan menjamurnya restoran cepat saji dari luar negeri di tempat-tempat strategis. 

Viral Curhat Pratama Arhan ke Azizah Salsha Usai Timnas U-23 vs Australia Bikin Gemes Netizen

Atmosfer Barat semakin berat ketika menelusuri sebuah mall, sudut makanan disesaki oleh kuliner mancanegara dengan menu-menu menggiurkan. Menyajikan  beragam menu ayam hingga hamburger, pizza, atau juga spagethi.

Praktis memang, terlebih untuk dikonsumsi kaum super sibuk yang butuh hal-hal instan. Tapi bagaimana nasib kuliner tradisional kita?

Tidak Fokus Berkendara, Pengendara Motor Tabrak BMW Seri 5

Sulit rasanya menemukan hidangan tradisional seperti jajanan pasar di dalam gedung megah tersebut. Risol, martabak dan soerabi misalnya, makanan ini hanya bisa bertengger di pinggiran jalan.

Dijajakan di gerobak, ataupun warung. Menyusup ke hati orang-orang berlidah tradisional dengan cara sederhana. Jika sudah begini, saatnya pelaku pasar kuliner tradisional memutar otak.

4 Tim Lolos 8 Besar Piala Asia U-23, Indonesia Siap Nyusul?

Berinovasi sedemikian unik agar lidah masyarakat penasaran dengan sesuatu yang baru. Ada yang tetap mempertahankan unsur lokal, ada pula yang mengawinkannya dengan gaya Barat, baik dari konsep maupun bahan-bahannya.

Hasilnya terjabarkan di tiga lokasi jajanan pasar di bawah ini. Pembeli bahkan harus mengantre untuk mencicip rasa baru ini.

Martabak 65a Bandung

Jejaring sosial adalah jawaban mengapa makanan ini bisa terkenal. Pengguna Twitter dan Path kelihatan akrab memperbincangkan jajanan baru ini. Yakni Martabak Toblerone dan Nutella: martabak kombinasi cokelat dan selai kacang merek luar negeri.

Menu tersebut bisa ditemukan di Martabak 65a Bandung, Jalan Pecenongan Raya No.65a, Jakarta Pusat. Ini bukanlah usaha baru, Agus sang pemilik, sudah mendirikan kiosnya sejak tahun 1970. Kala itu martabaknya hanya diberi taburan kacang wijen, mesis cokelat dan keju.

“Yang pertama kali pakai keju untuk martabak pun di sini,” ujar Agus.

Selama puluhan tahun usaha martabak ini berjalan, atmosfernya tak pernah seramai sekarang. Inovasi martabak baru terjadi tiga bulan lalu, ketika Agus dan anak-anaknya mencari bahan racikan martabak yang unik.

“Coba-coba aja cari cokelat apa yang aneh dan enak, saya pilih toblerone ternyata cocok,” lanjut pria berusia 59 tahun itu.

Yang pasti harganya juga tak lagi standar. Melambung hingga Rp120 ribu seporsi untuk martabak komplit dengan irisan cokelat, selai kacang, dan keju. Menurut Agus, dalam sehari ia bisa menerima pesanan dari 300 orang pembeli.

Tak rugi rasanya membeli martabak ini, karena dari segi ukurannya juga juara. Loyang dengan diameter 30 sentimeter digunakan untuk menghasilkan martabak jumbo. Disamping martabak manis, Agus juga menjual martabak asin atau yang dikenal dengan martabak telur.

Sejatinya, martabak terbagi menjadi dua jenis: martabak asin dan martabak manis. Kedua martabak berasal dari dua wilayah yang berbeda. Martabak asin adalah salah satu kuliner hasil asimilasi budaya Jawa Barat dan India. Sedangkan martabak manis diciptakan pertama kali di Pulau Bangka dengan nama asli Hok Lo Pan.

Soerabi Bandung Kebayoran

Jajanan khas Kota Kembang ini  berbentuk bulat seukuran punggung tangan. Rasanya sedikit gurih. Tapi jika Anda menikmatinya dengan lumuran saus gula palem, dijamin manisnya menggigit memanjakan lidah. Orang mengenalnya dengan sebutan soerabi.

Apa modifikasinya?

Disesuaikan dengan lidah orang Indonesia, kini soerabi dimainkan dengan bahan-bahan lain yang membuat pembeli rindu untuk kembali.

Sebut saja Soerabi Bandung Kebayoran yang membuka cabang di Jalan KH Ahmad Dahlan No.22 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Soerabi ini berani memadukan rasa dan warna dalam olahannya.

Ada soerabi dengan keju, sosis, dan ayam. Selain itu, soerabi manis dengan duren juga jadi selebriti di warung ini. Saking larisnya, duren untuk bahan soerabi kerap kali habis.

“Kami menggunakan durian montong untuk membuatnya,” kata Noverio Rahmawan, pemilik Soerabi Bandung Kebayoran.

Rio sapaan akrabnya, terbesit membuka restoran soerabi karena menjamurnya makanan cepat saji dikota-kota besar. Kemudian bersama ayahnya, Suheryanto, Rio berniat mempertahankan jajanan tradisional yang sehat tanpa bahan kimia. Bahan pengembang pun tak disentuh sama sekali. Keduanya sangat selektif dalam memilih bahan baku untuk menjaga kualitas.

Banyak soerabi dengan konsep serupa yang tumbuh di Jakarta dan Bandung, tapi pujian tetap melayang ke Soerabi Bandung Kebayoran. Pelanggan pun selalu kembali ke sini dan berpaling dari tempat lain.

 “Harganya memang sedikit mahal dari tempat lain, soerabi di sini bisa di atas Rp15 ribu, tapi kualitas soerabi kita beda,” lanjut Rio.

Untuk ke depannya, Rio berencana menyilangkan rasa barat untuk jajanan tradisional ini. Ia akan menyertakan soerabi spagethi di daftar menunya kelak. Resep ini masih terus digodok hingga menemukan racikan yang pas.
“Kepikiran aja sehabis makan spagethi, sepertinya enak juga kalau dibuat jadi soerabi,” tambah pria yang ingin kenalkan soerabi ke luar negeri ini.

Mamarisol Jogyakarta

Risoles. Rasa gurihnya menghasilkan sensasi berbeda. Apalagi saat lidah sudah bertemu sayuran yang sebelumnya tebungkus rapi lembaran adonan terigu. Jajanan tradisional yang satu ini merupakan kuliner asli Jakarta yang diadaptasikan dari Belanda.

Tapi kini rosoles tak hanya isi sayuran. Noegroho Dripijanto pemilik usaha waralaba Mamarisol berhasil membuat gigi orang Indonesia ingin menguyah rasa risoles yang berbeda.

Ia mengganti sayuran dengan menyertakan krim susu sapi dan juga keju. “Kami menggunakan susu sapi murni pilihan dari peternak di lereng Gunung Merapi, tak ada campuran air sehingga rasanya lebih gurih,” kata Noegroho Dripijanto.

Meskipun risoles identik dengan citarasa gurih, Noegroho berani bereksperimen dengan rasa manis. Sebut saja risoles cokelat yang didapuk jadi menunya, ada pula risoles fruty yang diisi dengan buah-buahan segar seperti leci dan jeruk mandarin, lalu disiram dengan fla.

“Kalau yang manis itu disukai oleh anak-anak, kreatifitas dalam menciptakan rasa membuat risoles di sini memiliki segmentasi masing-masing,” tambah pria yang berdomosili di Yogyakarta ini.

Disambut hangat oleh masyarakat, kini Mamarisol sudah tersebar di 17 outlet waralaba di berbagai kota besar seperti Batam, Solo, Bali, Jember, Lamongan, Bekasi hingga Tanggerang.

Namun, Noegroho meyebut bahwa risoles ini beda daerah, beda harga yang dibandrol. Jika di Yogyakarta hanya dijual Rp6 ribu per risoles, di Bali, Mamarisol bisa dihargai Rp10 ribu.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya