FOTO: Klenteng Tua, Saksi Pendaratan Tionghoa di Pinggir Jakarta

Warga Tionghoa Bersembahyang di Klenteng Boen Tek Bio
Sumber :
  • VIVAnews/Anhar Rizki Affandi

VIVAlife - Nuansa merah yang semarak langsung menyergap saat menginjakkan kaki di Pasar Lama, Tangerang. Di tengah kumuhnya pasar, sebuah klenteng tua berdiri sederhana.

Dikira Tewas oleh Israel, Komandan Al Quds Abu Shujaa Tiba-tiba Muncul di Pemakaman

Halaman depannya dipenuhi lilin besar. Masing-masing bertuliskan nama penyumbangnya. Beberapa sudah memercikkan api, yang lain lagi masih terdiam mati.

Klenteng Boen Tek Bio, namanya. Itu merupakan klenteng tertua di Tangerang. Boen Tek Bio berdiri sejak 1684, kala warga keturunan Tionghoa bermukim di kawasan Pasar Lama.

KPK Ungkap Background Pejabat Pemilik Aset Kripto Miliaran

Konon, mereka pertama menginjakkan kaki abad ke-15. Lalu, menikah dengan gadis lokal dan menetap di beberapa lokasi. Salah satunya, Pasar Lama. Mereka punya sebutan baru: China Benteng.

Klenteng pun didirikan. Lokasinya di persimpangan Jalan Bhakti dan Jalan Cilame. Terhitung, hingga kini sudah sekitar empat kali klenteng mengalami renovasi.

Kejuaraan Golf Internasional, Pj Gubernur Sumut Optimis Jadi Ajang Pembinaan Atlet

Menurut Oey Tjin Eng, juru bicara klenteng yang menyambut kunjungan VIVAlife, renovasi pertama dilakukan tahun 1844. Saat itu, yang dibenahi adalah altar utama.

'Sampai mendatangkan pengukir dari Tiongkok. Karena, kami tetap ingin mempertahankan karakter asli klenteng. Bangunannya lokal, tapi ukiran-ukirannya asli Tiongkok," ujar Tjin Eng.

Renovasi kedua, tahun 1856. Selanjutnya, tahun 1875, merenovasi bagian kanan dan kiri klenteng. Terakhir tahun 1904, renovasi dilakukan untuk membenahi naga besar di bagian depan klenteng.

Tjin Eng melanjutkan, nama Boen Tek Bio memiliki arti khusus.

Boen artinya intelektual, Tek kebajikan, dan Bio tempat ibadah. Maknanya, Boen Tek Bio merupakan tempat bagi manusia untuk menjadi insan penuh kebajikan dan intelektual.

Tujuan itu terpenuhi melalui “rute” beribadah di dalam klenteng. Terdapat setidaknya 15 dewa yang harus disembah setiap kali beribadah.

Pertama, umat mengambil seikat hio di sebelah kiri klenteng. Mereka kemudian berjalan melintasi altar utama, dan masuk melalui sebuah pintu bertuliskan “jalan kebaikan”.

Di dalam, mereka akan mengelilingi klenteng sembari menyambangi satu demi satu hio lou. Dewa Sam Kwan Tay Tee, Sakyamuni Buddha, Bi Lek Hud, Cap Pe Lo Han, Kha Lam Ya, Konh Ce Couw Su, Thian Siang Seng Bo, Te Cong Ong Po Sat, Kwan Seng Tee Kun, Hok Tek Ceng Sin, Kong Tek Cun Ong, dan Su Ben Ciao Kun berdiri gagah di sana.

Yang menjadi pintu keluar, adalah gerbang bulat bertuliskan “jalan kebenaran”.

Baru kemudian, mereka berdoa di altar utama yang beralaskan marmer. Itu merupakan lokasi paling sakral. Pelancong tak boleh mengambil gambar dengan menginjak lantai.

Urutan sembahyang yang terakhir, adalah membakar kertas emas yang berisi tiga dewa: Dewa Rezeki, Dewa Pangkat atau Jabatan, dan Dewa Panjang Umur.

Kertas yang dibakar itu dimasukkan ke dalam tungku berwarna merah. Terdapat dua tungku mengapit bejana besar tempat menancapkan hio.

Menurut Tjin Eng, itu sengaja diletakkan di luar agar asap dupanya mengarah ke langit lepas. Itu menandakan, doa mereka akan sampai ke tempat dewa berada.

Tak hanya sebagai tempat bersembahyang, klenteng itu juga menjadi lokasi berkumpul warga Tionghoa di sekitar Pasar Lama. Beberapa warga keturunan dari berbagai generasi terlihat bercengkerama akrab.

Selain menyimpan banyak sejarah etnis Tionghoa, klenteng Boen Tek Bio juga punya histori sedikit mistis. Saat Gunung Krakatau meletus dan banjir menggenangi Tangerang tahun 1833 misalnya, klenteng tak sampai kena efeknya.

Begitupula saat Sungai Cisadane meluap hebat tahun 1887. Potret sembahyang umat Tionghoa di Klenteng Boen Tek Bio, dapat dilihat melalui .

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya