FOTO: Nyanyian Sunyi Mantan Tahanan Politik 1965

Pentas Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer
Sumber :
  • VIVAlife/Setyo Andi

VIVAlife -  “Keadilan di negeri ini adalah sesuatu yang jarang bagi orang seperti kita." Kalimat itu diucapkan dengan nada bergetar oleh tokoh Eyang Nini (Pipien Putri) dalam gladi bersih pementasan teater persembahan Institut Ungu yang berjudul Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer di GoetheHaus, Jakarta, Kamis malam, 6 Maret 2014.

Terpopuler: 5 Kota Berbiaya Hidup Termahal di Indonesia, hingga Profil Mooryati Soedibyo

Naskah drama yang dipentaskan dalam rangka Hari Perempuan Internasional 2014 ini ditulis oleh Faiza Mardzoeki yang sekaligus menyutradarai dan menjadi produser pertunjukan tersebut.

Nyanyi Sunyi Kembang-Kembang Genjer mengangkat kisah tentang pergulatan batin lima perempuan tua mantan tahanan politik 1965. Aktivitas di organisasi feminis Gerwani dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) membuat mereka menjalani hidup dari balik jeruji penjara yang satu ke jeruji penjara yang lain hingga berakhir di kamp pembuangan tahanan politik (tapol) perempuan di Plantungan, Kendal, selama lebih dari 10 tahun.

Pementasan dibuka oleh solilokui Ming (HelianaSinaga), cucu dari Eyang Nini yang sudah mulai sakit-sakitan. Ming yang menjelma gadis dewasa mulai mengumpulkan serpih-serpih kecil tanda tanya yang berceceran semenjak dia kecil, perihal kedua orangtuanya, kakeknya, berikut akar di mana segala sesuatu tentang kehidupannya bermula.

Bukan sesuatu yang mudah bagi Eyang Nini untuk mengungkapkan kisah kelam yang pernah dia alami di masa lalu kepada sang cucu. Untuk itulah dia mengundang kawan-kawannya sesama penghuni kamp Plantungan untuk berkumpul di rumahnya, sekadar melepas rindu dan menemaninya mengungkap fakta yang selama ini dia simpan.

Satu per satu, para perempuan renta itu pun berdatangan. Mereka adalah Eyang Sulahana (Niniek L. Karim), Eyang Sumilah (Ruth Marini), Eyang Tarwih (Ani Surestu), dan Eyang Makmin (Erawita). Reuni kelima mantan tapol ini berlangsung riuh rendah.

Top Trending: 4 Perempuan Pernah Jadi Istri Ari Sigit, Jayabaya Ramal Kemunculan Gempa Besar

Segala memori kelam yang selama ini mereka simpan kadangkala menjadi bahan tertawaan. Sebuah melodi tawa penuh kegetiran yang tercipta dari pedihnya realita. Namun tak jarang juga muncul sisa-sisa kemarahan yang masih mengendap di benak mereka atas semua ketidakadilan yang dialami.

Kekuatan para aktris di atas panggung layak diacungi jempol. Mereka sanggup membuat penonton tertegun untuk pelan-pelan ikut tenggelam dalam kepedihan yang diceritakan. Musik lamat-lamat yang digubah oleh Marcello Peliteri dan tata lampu Iskandar K. Loedin sanggup membuat suasana kian ngungun.

Ganjar soal Prabowo Bakal Rangkul Lawan Politik: Saya Lebih Baik di Luar Pemerintahan 

Lihat foto-fotonya di

Begitu juga dengan tata rias Atha Cuco yang berhasil menyulap para aktris muda tampak sekian puluh tahun lebih tua dari usia sebenarnya.  Namun meski begitu, selama sekitar 10 menit pertama penonton butuh kekuatan tersendiri untuk bisa tiba-tiba masuk dan merasa terlibat ke dalam pembicaraan yang terlalu datar.

Tapi secara keseluruhan, pementasan ini bisa dibilang sebagai sesuatu yang memukau. Sebuah usaha untuk memberi suara dan menolak lupa yang layak menerima tepuk tangan.

Menurut Faiza sang sutradara, penulisan naskah drama dengan latar belakang sejarah 1965 bukan perkara mudah. Terlebih lagi Faiza dan timnya adalah generasi yang lahir tahun 1970-an. Tak jarang, fakta yang ditemui saat riset di lapangan berbeda dengan yang pernah mereka pelajari di kurikulum sekolah.

Butuh waktu sekitar dua tahun sebelum akhirnya keseluruhan naskah ini benar-benar jadi dan siap dipentaskan pada Januari 2013. Sebuah perjalanan panjang yang layak untuk mendapat aplaus meriah. Pementasan ini sendiri akan digelar untuk umum di GoetheHaus, Jakarta, pada 7-9 Maret 2014.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya