Ide Gila Dadang Heriadi: Mengabdikan Diri untuk Orang Sakit Jiwa

Yayasan Keris Nangtung
Sumber :
  • Dok. Sebastian Kisworo

VIVAlife- Seseorang dibalut pakaian lusuh sambil menapaki aspal tanpa alas kaki. Tubuhnya begitu kotor mengeluarkan bau tak sedap. Kadang menggerutu, tertawa bahkan marah tanpa sebab. Sering juga mengambil suatu benda dan melemparnya ke orang lain. Tingkah lakunya tak terkendali. Ya potret penderita gangguan jiwa selalu negatif.

Ia hidup tak layak, tidur dengan alas seadanya, seringpula beratapkan langit. Ia tetap makan, namun dengan cara yang menjijikkan. Mengais-ngais sampah dan melahap nasi sisa, kadang belatung pun disantap juga.

Perilaku si penderita gangguan jiwa itu ternyata menarik perhatian seorang pria, karyawan Perusahaan Listrik Negara (PLN).  Ketika itu, ia sedang makan enak. Spontan tertegun dan menghentikan kunyahan saat menyaksikan pemandangan miris.

Ia melihat seorang penyandang sakit jiwa yang sedang mengais-ngais makanan di tong sampah. Ia mengaku tersentuh, kemudian mengenang masa lalunya yang buruk– sebagai pemuda nakal yang suka minum-minuman keras. Dadang berpikir, andai tidak berhenti mabuk-mabukan saat itu, mungkin sekarang ia sudah seperti orang gila.

“Saya nggak tega, mereka kan manusia juga,” tutur pria bernama Dadang Heriadi itu.

Melihat orang gila, rasa jijik justru tak muncul dalam pikiran pria yang satu ini.  Dadang Heriadi mungkin bisa kita katakan “superhero” untuk orang-orang “minus” atau orang-orang yang menderita gangguan mental. Dadang “orgil” Heriadi, bukan berarti dengan kata orgil (orang gila) itu Dadang termasuk ke dalam orang-orang “minus”. Julukan itu diberikan karena Dadang bersama rekan-rekannya membina sebuah yayasan yang merawat orang-orang penderita gangguan mental. Yayasan tersebut diberi nama  Keris Nangtung.

Orang gila, seperti yang lebih akrab di telinga masyarakat luas, bukanlah sebuah kelangkaan di desa maupun di kota metropolitan, jumlahnya memang tak terkontrol. Orang-orang lalu lalang melewati mereka tanpa acuh, bahkan mempercepat langkah untuk mengindari kontak fisik. Rasanya hampir mustahil menaruh simpatik, apalagi sampai punya ide untuk memelihara orang yang tidak waras.

“Saya mau mereka hidup layak seperti kita, saya mau pelihara orang-orang gila,” lanjut pria berusia 44 tahun ini.

Menampung orang gila memang ide gila. Tapi Dadang berhasil menggaet kedua sahabatnya, yang memiliki pemikiran sejalan, Taofik Ahmad Rifai dan Rofi. Atas dasar keprihatinan yang mendalam, berdirilah Yayasan Keris Nangtung pada tahun 2008 di kawasan Rancamaya, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.

Tidak ada makna khusus dibalik nama Keris Nangtung, Dadang yang mengaku penggemar tokoh Gus Dur,  memilih nama sesuai dengan pesan mantan presiden tersebut: nama itu harus nyeleneh, biar gampang diingat orang lain.

Lalu dengan modal awal Rp1 juta, ketiganya nekat memboyong penderita gangguan jiwa yang menjamur di Kota Tasikmalaya. Di tempat penampungan sederhana, orang-orang yang semula hidup carut marut itu diberi kesempatan lebih baik untuk menikmati hari-hari. Tidur di dalam ruangan, makan dengan rutin, dimandikan, diobati, diterapi dan dikaryakan dengan kegiatan bercocok tanam.

“Tapi setelah pindah ke sini, lahan kami terbatas untuk ajak mereka bercocok tanam,” keluhnya.

Sambil Menangis, Tyas Mirasih Ungkap Kebaikan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina

Setelah Yayasan Keris Nangtung dipindahkan oleh Pemerintah Kota Tasikmalaya ke Kompelks Eks Terminal Cilembang. Lahan tersebut berupa lapangan luas tanpa sepetak tanah subur, sekelilingnya disulap menjadi rumah sederhana untuk para pasien. Dadang beserta keluarga pun tinggal di situ.

Urusan Hati

Pasien memulai rutinitas sejak pukul 06.00 untuk dimandikan. Setelah itu dijemur di lapangan dan diberi makan, biasanya berupa nasi, mie instan, lauk pauk sederhana seperti tempe atau tahu, sayuran dan ikan.

Usai perut kenyang, ada musik dangdut yang dimainkan keras-keras, sebagian besar pasien pun berjoget di lapangan, tapi beberapa di antara mereka tetap duduk tenang menonton rekannya.

Menurut Dadang, ini adalah bagian dari terapi selain pemijatan berkala. Kemudian lepas pukul 12.00, pasien dimasukkan kembali ke kamar berdasarkan kelompok tahapan, dari mulai gangguan jiwa berat yang harus diletakkan di kamar VIP, hingga pasien yang sudah mulai sembuh. Walau ini yayasan sederhana, tapi pengaturan begitu rapi dan tertata baik.

“Kamar VIP itu istilah saja, penghuninya yang masih suka buang air sembarangan, kadang kotorannya dimainin sendiri, itu pasien yang gangguan jiwanya paling berat,” tuturnya.

Pasti terlintas di pikiran orang lain, mengapa Dadang tak jijik berbaur dengan penderita gangguan jiwa. Sederhana menurutnya, ini semua kembali lagi karena urusan hati. Sampai sejauh ini, ia tak pernah tertular penyakit kulit atau penyakit apapun walau sering menyentuh mereka. Tapi lumrah, ketika merasa kewalahan mengurus pasien-pasien dengan berbagai macam karakter. Ada yang penurut, yang nakal pun juga harus ditangani.

Misalnya, tentang pasien laki-laki berusia 25 tahun yang teganggu jiwanya akibat belajar ilmu hitam. Ia sering menghilang dari kelompok walaupun sudah diborgol. Dadang terus mencari dan kaget ketika menemukan pasien itu di atas pohon pepaya. Ilmu gelap ternyata membawanya sampai puncak pohon dan membuat Dadang kebingungan.

Cerita lain, dahulu pasien-pasien rutin lari pagi mengelilingi rumah warga. Tapi penduduk sekitar sering protes, karena pasien kerap mampir ke warung dan mencuri makanan. Kegiatan lari pun kemudian dihentikan. Walaupun ada sejumlah cerita tentang kenakalan mereka, pusat rehabilitasi ini menjamin, siapapun yang bertamu tidak akan diganggu.

Benar saja ketika Vivalife mengunjungi Yayasan Keris Nangtung, semua pasien menurut dan tidak berontak. Tidak berani menyentuh, hanya menuturkan sapaan dan terkadang lambaian tangan. Tidak juga berani kabur walaupun dilepas di lapangan.

Stigma tentang orang gila yang selalu tergambar di layar televisi, dipatahkan ketika tiba di sini. Dadang bilang, banyak petugas Rumah Sakit Jiwa yang berkunjung dan heran dengan hal tersebut, karena di rumah sakit pun pasien tidak setenang ini.

“Saya merawat mereka dengan kasih sayang, bukan hanya sekadar menjalankan tugas,” kata pria kelahiran 12 Januari 1970 tersebut.

Kasih sayang dalam arti, tidak pernah ada paksaan atau kata kasar, apalagi siksaan fisik yang bisa memperburuk psikologis. Dalam mencari pasien di jalanan pun, pria ini turun tangan sendiri. Orang gila yang masih liar diajaknya masuk ke dalam mobil, jika di tangan petugas Dinas Sosial mereka berontak, di tangan Dadang, semuanya baik-baik saja.

Rezeki Tak Pernah Putus

Penghuni Yayasan Keris Nangtung terus bertambah, namun pengurusnya justru semakin menyusut. Hingga tahun 2014, Dadang kini menjadi pengurus yang paling lama.

Dedikasinya begitu besar hingga rela meninggalkan pekerjaan tetapnya sebagai karyawan Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Bersama tujuh pegawai lain, ia menangani hidup 180 penderita gangguan jiwa lewat sumbangan donatur. Tidak ada keuntungan finansial berlebih dari yayasan ini, uang yang diperoleh dibelanjakan untuk kebutuhan pasien dan memugar lokasi penampungan.

“Ini kan pekerjaan dari hati, kalau yang mengharapkan materi banyak, pasti gugur dengan sendirinya,” jelas ayah dari satu putri ini.

Penyumbang Yayasan Keris Nangtung datang dari berbagai kota, ada juga donatur tetap yang kerap memberikan beras setiap bulan. Pemerintah setempat pun bergerak, memberikan dana pertanggungan sebesar Rp3.200 per orang setiap hari. Tapi itu belum cukup karena jumlah pasien tak sedikit, kebutuhan beras per bulan saja mencapai 1,8 kuintal. Bantuan lain yang sangat diharapkan berupa sabun mandi, bahan makanan dan celana yang sering dirusak oleh para pasien.

Rezeki tak selamanya melimpah bukan? Pernah suatu ketika yayasan kehabisan beras, entah apa yang harus dimakan oleh pasien esok hari. Tapi niat baik selalu disambut hangat oleh tangan Tuhan.

Alhamdulillah besoknya ada yang kirim beras pakai becak, gak dikasih tau yang kirim siapa, Alhamdulillah kita belum pernah kekurangan atau nombok sampai sekarang,” lanjutnya kepada Vivalife.

Banyak Pasien Sembuh

Tidak pasti sampai kapan pasien menghuni Yayasan Keris Nangtung, hitungan bulanan hingga tahunan. Pasien yang hampir pulih mengenakan kaus berwarna jingga, mereka dibedakan.

Yang berhak masuk ke tahap ini adalah pasien yang dinilai sudah mandiri. Bisa mandi tanpa bantuan walaupun hanya menggosok tangan, bisa mencuci dan bantu memasak, juga bisa diajak berbincang.
 
Tanpa tenaga medis yang mumpuni, sebanyak 178 pasien telah dinyatakan sehat dan keluar dari Yayasan Keris Nangtung sejak 2008. Bagaimana bisa?

“Ya cuma karena kasih sayang itu, pokoknya mereka berangsung-angsur sembuh,” tutur Dadang.

Ketika hampir sembuh, pasien perlahan ingat nama dan alamat rumah mereka. Saat memori kembali, ternyata pasien mengaku tidak hanya berasal dari Tasikmalaya dan sekitar Jawa Barat saja.

Ada yang singgah dari Lampung, bahkan hingga berdomisili di Flores. Entah perjalanan seperti apa yang membawa mereka hingga sejauh ini.
 
Untuk yang tinggal di Jawa Barat dan sekitarnya, Dadang mengantar pasien-pasiennya langsung ke rumah. Yang di luar pulau pulang mandiri dengan dukungan biaya transportasi dari Dinas Sosial setempat.

Setelah melihat dengan mata telanjang keadaan keluarga pasien, Dadang simpulkan bahwa gangguan jiwa bisa disebabkan oleh faktor ekonomi.
Kesembuhan juga membuat mantan pasien jadi individu yang produktif. Beberapa di antaranya kembali bekerja, satu orang bahkan berprofesi sebagai wirausaha dan membawahi anak buah.

Belajar Menghargai Hidup

Apa jadinya punya ayah yang merangkap sebagai orangtua angkat ratusan orang gila?

Widia Septianingrum pernah merasa tertekan. Awalnya, sang putri malu melihat keluarganya menanggung hidup penderita gangguan jiwa. Ia pun kini telah duduk di bangku SMA,  semakin besar usianya, semakin mengerti kalau ayahnya membanggakan.

Orangtua Dadang juga pernah tidak setuju dengan ide nekatnya ini, hanya ada satu orang yang terus memberi dukungan secara konstan dari awal perjalanan hingga sekarang. Ia adalah Ai Siti Jenah yang menikah dengan Dadang sejak tahun 1995. Saat suaminya punya mimpi yang sulit dimengerti banyak orang, wanita itu bersedia memahami.

“Ya saya setuju karena merasa kasihan, mereka kan juga butuh hidup yang layak,” ucap Ai Siti Jenah kepada Vivalife.

Ai tinggal di Yayasan Keris Nangtung untuk terus membantu suaminya. Apapun itu mulai dari memasak, merawat pasien, sampai mengasuh dua gadis kecil yang lahir dari rahim wanita sakit jiwa di yayasan itu.

Bagi keduanya, menata langsung kehidupan penderita gangguan jiwa, berarti memetik pelajaran betapa beruntungnya hidup di dunia dengan keadaan sehat.

Bisa makan enak, tidur di atas kasur empuk, mengenakan pakaian bagus, mengemban pendidikan dan bahagia bersama keluarga. Dadang menceritakan ini kepada Vivalife dengan mata berkaca-kaca.

“Apalagi saya dulunya pemakai narkoba, saya jadi lebih menghargai hidup setelah mengelola yayasan ini,” lanjut pria dengan aksen Sunda ini.

Dadang mengakui bahwa masa lalunya dibebat obat-obatan terlarang, identitas preman pernah melekat. Tapi refleksi keseharian pasien terus menginspirasi, walaupun psikologisnya terganggu, jiwa sosial mereka masih terlihat secara utuh. Ketika sedang berbagi makanan misalnya, mereka tolong menolong saat temannya tidak menerima jatah.

“Mereka mau berbagi, bisa ambil air wudhu, bisa sholat, masa kita yang waras gak bisa ,” tambahnya.

Enam tahun Yayasan Keris Nangtung berjalan, Dadang punya harapan untuk membesarkan bangunan. Membuat kamar lebih banyak lagi sehingga pasien bisa tinggal lebih nyaman.

Masalah lokasi juga masih krusial, bekas terminal yang ditempatinya bukanlah kediaman permanen, yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali oleh pemerintah setempat.

“Ya kalau kita diusir mau pindah saja ke balai kota, biarin orang-orang gila pada demo besar di sana, saya mau difasilitasi,” tutup Dadang Heriadi. (eh)

Pelatih Arema FC, Widodo Cahyono Putro

Widodo Beri Motivasi Pemain Arema FC Usai Takluk Dari Persebaya

Pelatih Arema FC, Widodo Cahyono putro berusaha memberi motivasi para pemain usai kembali menelan kekalahan secara beruntun di Liga 1. Mereka kalah dari Persebaya.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024