Meramu Cerita dari Jalanan

Film Jalanan
Sumber :
  • Facebook/JalananMovie
VIVAlife
Momen Ketua MK Semprot Kuasa Hukum KPU yang Puji-puji Hasyim Asy'ari
- Boni tinggal di dekat Bundaran Hotel Indonesia. Namun, rumahnya bukan di apartemen, yang belakangan ini tumbuh bertebaran di kawasan elite itu, melainkan di kolong jembatan. 

Kubu Ganjar-Mahfud Tidak Terima Gugatannya ke MK Disebut Salah Sasaran oleh KPU

Setiap hari dia naik turun bus kota, mendendang sejumlah lagu bersama gitar dan harmonikanya di depan para penumpang. Itu adalah rutinitas yang harus Boni lakoni sebagai pengamen.
Jokowi Ogah Komentari soal Sengketa Pemilu 2024 di MK


Kalau ada penumpang yang bersimpati, uang recehan pasti Boni terima. Namun, lebih banyak yang palingkan muka hingga Boni keluar dari bus. 

Ini bukan kisah sukses seorang pengamen di ibu kota. Penghasilan Boni sehari-hari paling hanya cukup untuk membeli makanan buat dia dan istri.

Sebagai penghuni kolong jembatan, hidup mereka tidak menentu. Boni mandi dari air PAM yang kebetulan mengucur. Kadang berendam di sebuah bak mandi bekas. Ia tidur beralas semen yang ditutup helai-helai pakaian.

Puluhan tahun sudah Boni tinggal di sana. Setiap kali hujan dan banjir datang, ia harus mengamankan rumahnya. Boni sampai rela membeli semen dan membuat dinding untuk menghalangi arus air.

Impiannya sederhana: punya tempat tinggal lebih layak. Boni pun menjadikan kolong jembatan selayak Hotel Hyatt. Dibelinya cat warna-warni, bahkan rumput sintetis agar tidur lebih terasa elite.

Lain Boni, lain lagi Ho. Nama aslinya Bambang Sri Mulyono. Rambutnya gimbal seperti penyanyi reggae. Terkadang, ia ikut mengamen bersama Boni. Lagu-lagunya penuh kritik.

Kadang soal cinta, kadang soal korupsi. Baginya, cinta itu harus tulus. Tak peduli apa respons yang didapat. “Kayak gue , cinta Indonesia. Nggak tahu Indonesia cinta gue
atau
nggak
,” selorohnya.


Ho juga tinggal di kolong jembatan Bundaran HI. Tapi, ia tak seperti Boni yang sudah punya istri. Ho memilih mencari cinta di jalanan. Ia sering terlibat tawar menawar dengan wanita malam.


Lalu, masuk ke gubuk remang-remang, dan menuntaskan hasratnya di sana. Ia sebetulnya ingin membangun rumah tangga. Tapi Ho sadar, siapa yang mau dengan kaum marjinal sepertinya?


Bukan hanya mengais rezeki dari belas kasih orang, rekam jejaknya juga tak mulus. Ia pernah terjaring razia karena mengamen. Ho pun mengenyam hampanya ruang penjara.


Sampai suatu saat, ia menemukan tambatan hatinya.


Satu lagi, jika melihat pengamen wanita bersuara cempreng di atas bus kota, sering menyanyikan
Alhamdulillah
milik Opick, sosok itu mungkin Titi.


Ia sedikit lebih beruntung karena punya rumah. Keluarganya lengkap, punya suami dan tiga anak. Namun, Titi merasakan juga pahitnya perceraian.


Ia kemudian berjuang lebih keras untuk menyekolahkan ketiga anaknya.


Tak ingin ia melihat anak-anak senasib dengannya, tanpa pendidikan. Dari uang Rp400 ribu yang ia terima per bulan, Titi juga masih harus mengirim ke kampung untuk biaya pengobatan ayahnya.


Namun ia bukan sosok lemah. Titi bertarung dengan kejamnya Jakarta, berjuang mati-matian untuk kehidupan lebih baik. Salah satu cara yang ditempuh: mengambil Paket C agar bisa dapat ijazah.


Usia bukan masalah baginya. Tak ada kata malu. Yang penting, dengan ijazah yang didapat, ia bisa mencari kerja lebih baik. Bukan lagi berkarib dengan polusi dan debu ibu kota.


Tiga tokoh itu mewakili kehidupan jalanan. Masing-masing punya mimpi dan daya juang yang berbeda. Yang menjadi benang merah ketiganya: harapan. Itu ibarat nyawa sebuah perjuangan.


Harapan itulah yang ingin disajikan sutradara Daniel Ziv dalam film
Jalanan
. Lewat tokoh Boni, Ho, dan Titi, pria asal Kanada itu mengajak penonton berpegang pada harapan meski dalam kesusahan.


Digarap 5 tahun

Tidak mudah menampilkan realita jalanan begitu saja. Daniel butuh waktu lima tahun menggarap film itu. Ide film muncul dalam benaknya saat Daniel bertemu dengan sekelompok pengamen.


Mereka bertukar kisah. Insting sutradara Daniel pun terpanggil. Ia merasa, kisah para pengamen tak bisa diacuhkan begitu saja. Jika diramu dengan tepat, itu bisa menjadi sebuah ide film dokumenter.


“Mereka punya pribadi yang menarik, isu ketidakadilan sosial yang mencengangkan, perjuangan individu, gurauan tak senonoh, dan sub-budaya perkotaan penuh warna,” ungkap Daniel.


Para pengamen juga punya lagu-lagu orisinal yang terkadang menggelitik.


Maka mulailah Daniel bekerja. Ia mengadakan “audisi” rahasia dengan naik turun bus kota. “Aku belajar rute-rute bus, interaksi dengan pengamen, juga mencari yang layak dipilih,” katanya.


Syaratnya mudah: punya kisah dan karakter menonjol serta bisa menyanyikan lagu ciptaan sendiri.


Awalnya, ia ingin membuat film soal komunitas pengamen. Kelamaan, ide mulai berkembang. Daniel menemukan fakta menarik soal era pasca reformasi dari kacamata mereka yang “terbuang”.


“Mereka terjebak dalam celah ketidaknyamanan antara dua fenomena: demokratisasi dan globalisasi. Mereka bangga akan keduanya tapi tidak mendapat apa-apa,” ujar Daniel lagi.


Lewat ketiga tokohnya, keironisan itu dihidupkan. Namun penonton tak dibiarkan larut dalam kesedihan akan tragedi. Melainkan, melalui kehidupan yang disajikan apa adanya.


Memotret kehidupan para pengamen secara gamblang tak bisa hanya dengan seharian mengikuti mereka. Daniel menunggu momen demi momen selama lima  tahun.


“Kita ditanya, apa punya
handphone
. Kebetulan punya. Dari situ kontak-kontakan,” Titi bercerita.


Setelah bertukar nomor, Daniel kadang kelabakan melayani “panggilan” para tokohnya. Setiap detail ia ambil. Boni misalnya, mengontaknya sebelum ia mandi atau berangkat mengamen.


“Saya bilang, ‘Tunggu jangan mandi dulu. Tunggu sampai saya datang,’. Jadi bisa saya ambil momen-momen itu,” Daniel menuturkan. Begitu pula untuk adegan-adegan yang lain.


Karena itu, Daniel menjamin seluruh adegan film adalah nyata, tanpa skenario. Ia hanya meramu gambar demi gambar hingga menghasilkan sebuah cerita utuh.


Sampai ada akhir untuk perjuangan masing-masing. “Aku mencari sesuatu untuk menutup cerita ini supaya penonton merasa kenal dan peduli dengan ketiga tokohnya,” ucap Daniel.


Tantangannya, lanjut Daniel, ada pada proses
editing
. Ia butuh 18 bulan untuk merampungkan itu.


Diakui Internasional

Meski begitu, seluruh kerja keras Daniel terbayar saat film
Jalanan
diakui secara internasional. Oktober 2013 lalu, film itu diputar perdana di Busan International Film Festival.


Tak sekadar dipertontonkan, Jalanan menyabet
Best Documentary Film
. Ia tak berat seperti dokumenter lainnya, karena fenomena yang disuguhkan sangat dekat dengan lapisan kehidupan.


Itu yang menjadi daya tarik film. Jalanan juga dibumbui humor yang terasa natural karena begitu melekat dengan tokoh yang ditampilkan. Celetukan-celetukan Boni, Ho, dan Titi mewarnai film.


Daniel menyebut, filmnya menangkap drama kehidupan manusia. Banyak yang menyangka film itu fiksi, lantaran tak percaya film dokumenter bisa dirangkai semenarik itu. Tidak membosankan.


“Karena di Asia festival itu paling kuat, makanya kami
submit
ke sana. Ternyata sangat dihargai. Ini pertama kali film Indonesia juara di Busan,” tutur Daniel bangga.


Film yang sama juga diputar di Ubud Writers and Readers Festival, Bali. Pada akhir film, ribuan penonton serentak berdiri tanpa dikomando. Mereka bertepuk tangan sambil meneriakkan: “Boni, Ho, Titi, kami cinta padamu!”


Di Jakarta sendiri,
Jalanan
mendapat sanjungan dengan diputar pada layar bioskop komersial. Mulai 10 April lalu, film itu bertahta di XXI Plaza Senayan, XXI Blok M Square, dan Blitz Megaplex Grand Indonesia.


Jika jumlah penontonnya membludak, film itu dijanjikan layar bioskop yang lebih luas. Lebih banyak di Jakarta, juga di kota-kota lain seperti Yogyakarta, Bandung, Surabaya, dan Bali.


Meluasnya film, diyakini tak hanya positif bagi
Jalanan
sendiri. Kehidupan para tokohnya juga akan terangkat. Daniel menyebut, tak ada honor pada ketiga tokohnya. Sebab, mereka bukan aktor.


“Dalam etika film dokumenter, tidak boleh membayar orang yang didokumentasikan hidupnya. Itu bisa memengaruhi jalan cerita,” ujar Daniel. Ia hanya berlaku sebagai sahabat yang peduli.


Jika film yang dibuatnya berhasil, Boni, Ho, dan Titi dan para pengamen jalanan lain mungkin akan mendapat impresi yang tak bisa diukur dengan gaji. Mereka lebih dihormati dan dikagumi.


Itu sudah dirasakan ibunda Boni, yang hadir pada
press screening
film minggu lalu. “
Alhamdulillah
, anak saya hidupnya bisa jadi kayak begini,” ungkapnya pada
VIVAlife
, sambil mengusap air mata haru yang tak sengaja menitik. (ren)
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya