Berkarya di Tengah Keterbatasan

Komunitas Kartunet
Sumber :
  • Facebook

VIVAlife - Rasa bangga terpancar saat para punggawa Kartunet Community menerima piagam " Klik Hati Award 2013" atas aksi kepedulian lewat media sosial. Mereka bersanding bersama empat komunitas lain: Nebengers, Istana Mengajar, Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia dan Lagu Anak Indonesia.

ISIS Tembaki 20 Pejuang Bersenjata Palestina hingga Tewas di Suriah

Seperti apa kepedulian itu? Yang jelas, ini sangat terasa bagi penyandang disabilitas. Berkat karya Kartunet Community berupa laman Kartunet.com, penyandang disabilitas bisa memperoleh isu-isu terhangat soal disabilitas sekaligus bisa menyalurkan ungkapan maupun karya mereka lewat penulisan kreatif.

Kartunet.com didirikan pada 2006, diawali hobi menulis blog dari tiga pelajar tunanetra di SMU 66 Jakarta: Aris Yohanes, M Ikhwan Tariqo dan Dimas P Muharam. Atas usul teman mereka, Irawan Mulyanto, hobi menulis itu disalurkan ke dalam satu situs bersama dengan nama Kartunet.com. Nama Kartunet sendiri merupakan kliping dari kata “karya” dan “tunanetra”.

Buntut Polemik Dana Pembangunan Masjid, Perilaku Buruk Masa Lalu Daud Kim Kini Mencuat

Kebersamaan itu sekaligus menghasilkan komunitas Kartunet Community. Penyandang disabilitas yang tergabung adalah tunanetra, tunadaksa, tuli dan ada juga penyandang gangguan mental.

Lambat laun, Kartunet.com mulai dikenal di kalangan disabilitas dan mendapat banyak respon positif. Mulanya hanya mempublikasikan karya tulis, pada 2011, Kartunet.com akhirnya digarap menjadi media warga yang melayani kebutuhan informasi.

4 Ban Mobil Toyota Avanza Hilang Dicuri Saat Parkir

“Jadi, pewartanya adalah teman-teman disabilitas sendiri, atau mereka yang peduli dengan disabilitas. Mereka tersebar di seluruh wilayah Indonesia sebagai kontributor, jumlahnya ada sekitar 240 orang,” kata M Ikhwan Tariqo kepada Vivalife di Jakarta.

Memanfaatkan Teknologi

Kartunet Community memiliki visi memberdayakan penyandang disabilitas agar mandiri dan kreatif, melalui dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Tentu, semua yang tergabung dalam komunitas adalah penyandang disabilitas yang sudah akrab dengan internet. Mereka menggunakan media sosial untuk sosialiasi.

Hingga kini, ada 3.700 pengikut mereka di Facebook dan sekitar 2.000 pengguna Twitter yang berhasil dirangkul. Kartunet Community dikelola oleh 8 pengurus.

Lantas bagaimana mereka mencari berita? Teknologi adalah pijakan utama, yang secara revolusioner dapat mengatasi keterbatasan penyandang disabilitas. Jika isu-isu sudah didapat, mereka akan mengonfirmasikan itu ke pihak disabilitas terkait, melalui telepon maupun e-mail dan media sosial.

“Isu yang baru terjadi misalnya diskriminasi disabilitas di soal ujian SNMPTN, kita gencar memberitakan dan bikin petisi, lalu mempublikasikan terus perkembangannya,” lanjut pria yang akrab disapa Riqo ini.

Untuk terjun langsung ke lapangan, diakui Riqo, masih menemui banyak kesulitan. Tapi, pewarta Kartunet.com tidak sendiri, ada pihak advokasi yang memperjuangkan hak-hak mereka.

Berita yang disiarkan setidaknya mengedukasi banyak orang dan memberi tekanan pada pihak lain yang terkait isu. Hasilnya, ada pihak yang pernah merespon dan memperbaiki kebijakan mereka untuk penyandang disabilitas.

Soal mengubah data menjadi berita, mereka tak memiliki kesulitan. Berita dan karya-karya tulis tersebut diolah lewat sistem komputerisasi, semuanya sudah dilakukan secara mandiri oleh penyandang disabilitas.

Untuk tunanetra misalnya, caranya relatif mudah, kata Riqo, hanya butuh laptop yang memiliki fitur soundcard atau penghasil suara. Setelah itu, aplikasi pembaca layar diaktifkan pada laptop, sehingga apa yang tertera pada layar akan diucapkan secara verbal oleh sistem komputer. Sama halnya dalam menggunakan ponsel, sistem operasi Blackberry maupun Android, menyediakan fitur pembaca layar yang memudahkan tunanetra berkomunikasi.

“Kita buka sharing soal media sosial dan blog, biasanya untuk teman-teman yang punya minat ke dunia internet, ini rutin kita lakukan,” tambah lulusan Sastra Inggris dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung ini.

Tak butuh jangka waktu tertentu untuk menguasai internet, penyandang disabilitas bisa cepat menguasainya asal terus melakukan penyesuaian.

Terus Meluas

Bagi penyandang disabilitas yang belum terakses dengan internet. Kartunet Community juga mengudara lewat radio. Berkat bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, mereka diberi ruang untuk siaran di dalam program Suara Edukasi. Siaran tersebut bisa didengar di gelombang 1440 AM, pukul 13.00-14.00 WIB.

Sama yang seperti disuarakan oleh Kartunet.com, Suara Edukasi juga memberikan informasi seputar disabilitas. Namun, sasaran yang dituju berbeda, mereka coba membidik penyandang disabilitas orangtua atau yang belum akrab dengan teknologi informasi.

Selain merintis di ranah radio, komunitas juga menciptakan wadah peyaluran talenta yang disebut Digital Marketing. Ini adalah tempat bagi mereka yang menyukai dunia teknologi maupun menulis. Kartunet Community menjual jasa kepada organisasi atau siapapun yang ingin membuat website. Pelayanan yang ditawarkan antara lain: membuat dan mendesain situs, menangani isi situs hingga mengelola media sosial klien terkait.

Mereka pun terus berkarya lewat buku, menulis cerpen maupun fabel yang inspiratif. Para penulis adalah anggota komunitas yang sudah lulus audisi.

Riqo mengatakan, Kartunet Community punya target menghasilkan empat buku dalam setahun.

“Untuk buku selanjutnya, kami menceritakan pengalaman masing-masing di sekolah inklusif,” tambah Riqo.

Lebih Profesional

Melalui Kartunet.com, masyarakat luas diharapkan lebih mengenal dan memahami bahwa penyandang disabilitas pun dapat berdaya, serta dapat menerima mereka sebagai bagian dari keberagaman masyarakat.

Delapan tahun telah dilalui, pembaca Kartunet.com menyentuh angka 1.000 dalam sehari. Selain memuat berita terkait isu disabilitas, Kartunet.com juga menggarap artikel tentang teknologi, kesehatan, inspirasi, wisata, seni & olahraga, gaya hidup dan masih banyak lagi. Kontributor bebas menentukan tema tulisan, tapi mengupasnya tetap dari sisi disabilitas.

“Dalam menulis tekno misalnya, media lain hanya akan tulis tentang spesifikasi umumnya aja, tapi Kartunet.com tulis dari sisi disabilitasnya,” kata Riqo.

Tapi, di sinilah kendalanya, pewarta masih kesulitan mencari narasumber dan harus memantau beberapa media untuk menghasilkan tulisan tersebut. Meskipun demikian, mereka terus belajar mendalami dunia jurnalistik. Ada pelatihan jurnalistik dan penulisan kreatif yang diselenggarakan secara rutin.

“Ada koordinator dari komunitas yang memang bagus di bidang penulisan, biasanya pelatihan dilakukan seminggu sekali,” tutur pria yang bekerja sebagai pegawai di salah satu bank internasional ini.

Harapan Riqo, kelak Kartunet.com dapat menjadi media yang independen. Karena bagaimana pun juga, media ini ditujukan untuk masyarakat umum, namun tetap fokus pada isu-isu disabilitas.

Diakui Riqo, selama ini mereka swadaya, mengandalkan loyalitas pengurus yang tak mungkin berlangsung terus-menerus. Mereka ingin bekerja secara profesional, menghasilkan uang untuk komunitas, penulis dan juga pengurusnya. (one)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya