Asyiknya Cinta Sejarah

Love Our Heritage
Sumber :
  • VIVAnews/Bimo Wiwoho
VIVAlife - Suasana klasik membungkus bangunan ini. Langit-langit yang anggun. Tata ruang yang asri. Udara masa silam masih harum terasa. Meski telah beberapa kali dipugar, desain asli bangunan tetap dipertahankan. 
Anies soal Tawaran Jadi Menteri di Kabinet Prabowo: Belum Ada yang Ngajak

Gereja Immanuel di Depok sudah tiga abad berdiri. Dia adalah saksi bisu perjalanan Kota Depok, sejak masa perbudakan hingga hiruk pikuk masa kini. Sayangnya, tak banyak yang peduli. 
Viral Video Transformasi Makeup Pengantin Jadi Sorotan Netizen

Hanya segelintir orang acuh dengan riwayat dan kondisi bangunan bersejarah di Indonesia. Mereka di antaranya adalah komunitas pencinta sejarah yang belakangan tumbuh subur di Tanah Air.
Lolos Jadi Anggota DPR, Denny Cagur Ungkap Kenangan Haru dengan Almarhumah Ibu

VIVAlife sempat mengunjungi Gereja Immanuel, jembatan Panus yang berdiri sejak 1920-an, rumah serta istana Presiden Depok di masa kolonial, bersama komunitas pencinta sejarah yang kebetulan memiliki agenda mengupas sejarah kota Depok, beberapa waktu lalu. Komunitas ini bernama Love Our Heritage (LOH).  

LOH pertama kali dibentuk oleh mereka yang memang memiliki kecintaan yang sama, yakni belajar sejarah, makan dan jalan-jalan. Diawali tur bersama salah satu komunitas pecinta sejarah di Jakarta. Lalu, karena telah akrab, mereka memutuskan untuk membentuk komunitas sendiri pada 2 Mei 2010.

Setiap bulannya, LOH memiliki agenda bernama bakti royong. Di agenda tersebut, mereka membersihkan mausoleum unik, bersejarah, namun luput dari penglihatan pemerintah. 

"Sayang banget pemerintah tidak mengurusi peninggalan sebagus ini. Akhirnya kami inisiatif untuk membersihkan," ujar Adjie, sebagai pemandu tur LOH.

Di samping itu, ada pula agenda yang sifatnya jalan-jalan. Tempat yang dikunjungi pun tidak terpatok di wilayah Jabodetabek saja, tetapi juga di luar kota. Seperti contohnya, LOH pernah menyambangi Bandung untuk mengupas beberapa cerita masa lalu di sana.

Mengenai anggota, LOH mengklaim memiliki 50-60 orang yang terdaftar secara administratif. Namun karena kesibukan lain, pengurus inti hanya berjumlah 15 orang. 

Tetapi jangan khawatir. Setiap menyelenggarakan agenda jalan-jalan, pengikut dadakan bahkan mencapai 100 orang, sehingga tur tidak terkesan membosankan. 

"Tiap anggota dikenakan biaya Rp5 ribu per bulan untuk uang kas," kata Adjie. 

"Ada pula Anggota Luar Biasa. Yaitu Dewan Penasihat, yang terdiri dari orang berlatar belakang arsitek, media, dan pekerja swasta," ucap Adjie yang sering memandu ditemani sang istri dan anak.

Saat tur jalan-jalan, LOH dipandu tak sembarang orang. Mereka yang memandu tur biasanya seorang sejarawan, pengamat sejarah, tour guide berlisensi atau pelaku sejarah. Maka dari itu, cerita sejarah yang didapat bisa dipertanggung jawabkan.

Modal seadanya

Nama komunitas pencinta sejarah dan budaya Indonesia berikut ini lebih akrab di telinga masyarakat. Nama resminya adalah Komunitas Historia Indonesia (KHI). Komunitas yang berdiri sejak 22 Maret 2003 ini, aktif menjadi mitra berbagai pengelola bangunan tua di Jakarta. Mulai dari Museum Sejarah Jakarta, Museum Bank Mandiri, Kantor Pos Jakarta Taman Fatahillah, hingga Batavia Hotel.

"Dulu pertama kali berdiri namanya bukan KHI, tapi KPSBI-Historia atau Komunitas Peduli Sejarah dan Budaya Indoesia - Historia," ujar Pendiri sekaligus Ketua KHI, Asep Kambali.

Saat ini KHI memiliki 23.000 anggota yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan bisa dikatakan, KHI merupakan komnitas sejarah terbesar di Indonesia. Namun ketika pertama kali didirikan, KHI hanya beranggotakan tujuh orang. Itu pun semuanya merupakan mahasiswa Universita Negeri Jakarta (UNJ) dan Universitas Indonesia (UI).

"Saat itu kami memakai modal seadanya," ucap Asep.

Berawal dari promosi melalui mulut ke mulut, KHI semakin dikenal luas. Pada tahun 2009, mereka mulai membuat blog dan kemudian memanfaatkan media sosial, seperti Facebook serta Twitter untuk menyebar luaskan program KHI.

Seperti komunitas peduli sejarah lainnya, pendirian KHI dilatar belakangi keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang enggan mempelajari sejarah dan budaya bangsa. "Saya merasa harus menyadarkan generasi muda untuk mengenal sejarah sendiri," ujar dia.

Mayoritas anggota KHI adalah mahasiswa. Namun, ada pula orang tua. Sudah tak terhitung aktivitas yang dilakukan oleh KHI. Namun program mereka yang sudah banyak dikenal masyarakat antara lain Heritage Trail Pecinan Tangerang, Walking Tour Soempah Pemoeda, Tour de Busway, Wisata Malam Kota Tua, dan Night at The Museum.

Gemar Membaca 

Di Kota Kembang, ada juga kelompok yang bergiat dalam segmen kesejarahan. Bandung, sebagai kota yang sempat ingin dijadikan ibukota oleh Belanda kala itu, sudah tentu memiliki banyak objek wisata sejarah. Maka wajar saja jika kelompok pecinta sejarah di Bandung mendapat perhatian banyak kalangan. 

Komunitas Aleut telah ada sejak tahun 2006. Mulanya, komunitas ini dibentuk oleh sekelompok mahasiswa yang gemar membaca karya-karya penulis buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, Haryoto Kunto.

Dikarenakan ada kesamaan minat dan kecintaan, mereka memutuskan untuk mendirikan suatu komunitas yang bergerak di segmen sejarah. 
Motif lain yang mendorong mereka ialah kejenuhan akan pola pengajaran sejarah di sekolah.

"Mencoba membuat alternatif belajar sejarah yang baru dan menyenangkan," ujar Ketua Komunitas Aleut, Arya Vidya.

Agenda Komunitas Aleut tiap pekan tidak hanya sebatas mengelilingi objek wisata sejarah. Ada Kine Aleut, yakni menonton film bersama, ada Kelas Menulis, Apresiasi Musik dan Lacak Jejak. 

Mengenai jalan-jalan, Arya mengatakan bahwa hampir semua objek wisata sejarah di Bandung telah disambangi Komunitas Aleut semenjak delapan tahun berdiri.

Anggota Komunitas Aleut hanya berjumlah 10 orang saat pertama kali dibentuk. Hingga hari ini, mereka mengklaim telah memiliki anggota sebanyak 700 orang. Mayoritas pegiat Aleut ialah mahasiswa. Namun, tidak ada batasan umur untuk turut bergabung bersama komunitas ini.

Adapun tujuan Komunitas Aleut didirikan ialah untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa menjaga warga kota Bandung, terhadap kota yang mereka tinggali. Tidak terbatas pada mereka yang lahir di Bandung, tetapi juga mereka yang berdomisili di kota Kembang. 

Komunitas Aleut sendiri menganggap masih banyak kawula muda yang tidak begitu peduli akan sejarah. Apalagi berniat untuk melestarikan sejarah. Maka dari itu, Aleut berharap kedepannya dapat melibatkan lebih banyak kalangan muda untuk menumbuhkan kecintaan terhadap sejarah.

"Namun sebagian kecil sudah mulai peduli akan sejarah dan ini adalah langkah awal yang baik," kata Arya. (ren)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya