Srikandi-srikandi Penegak Hukum

Srikandi Penegak Hukum
Sumber :
  • flickr.com/photos/usindo
VIVAlife - Lembaga penegak hukum memiliki peran penting dalam melindungi perempuan dan menyelesaikan berbagai isu yang menyangkut gender. Meski demikian, banyak tindak kejahatan seperti perdagangan perempuan dan anak, kekerasan dalam rumah tangga serta pelecehan seksual yang mengancam perempuan di Indonesia. 
4 Pria Terkapar Babak Belur di Depan Polres Jakpus, 14 Anggota TNI Diperiksa

Di Tanah Air, Kepolisian, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan badan-badan peradilan lainnya adalah lembaga penegak hukum utama yang berurusan dengan isu-isu kriminal yang kompleks. Keterwakilan perempuan di lembaga ini lebih dari sebuah isu kesetaraan, tetapi juga memberikan perspektif yang berbeda untuk banyak isu gender yang ada di sektor peradilan.
Kemenhub Pastikan Mudik 2024 Lancar, Intip Daerah Tujuan Terbanyak hingga Angkutan Terfavorit

Kesempatan yang lebih besar harus diberikan kepada perempuan untuk mengurangi kesenjangan gender dan meningkatkan kemampuan perempuan dalam penegakan hukum. Hal ini diungkapkan oleh Pengajar Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK PTIK) Kol. Sri Rumiati yang ditemui VIVAlife selepas acara diskusi USINDO Jakarta Open Forum di Kawasan Sudirman, Jakarta, Senin, 21 Juli 2014.
5 Minuman Alami Bantu Atasi Radang Tenggorokan Selama Puasa

Berdasarkan data dari sensus terakhir, kata dia, jumlah wanita dan anak-anak Indonesia merupakan setengah jumlah keseluruhan populasi.

"Angka kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak terus meningkat setiap tahunnya. Sedangkan jumlah polwan di Indonesia tidak pernah berubah, hanya 3,6 persen dari jumlah polisi laki-laki atau hanya berjumlah 14.102 orang," ujar Sri yang saat ini memegang jabatan sebagai Kepala Teknologi Kepolisian dan Pelatihan Manajemen Keamanan, PTIK (STIK-PTIK).

Selain itu, ia juga menuturkan bahwa negara ini kekurangan Sekolah Pelatihan Polisi yang tersedia untuk perempuan. Bayangkan saja, di seluruh Indonesia terdapat 30 Sekolah Pelatihan Polisi dan hanya 1 Sekolah Pelatihan Polwan.

Lalu sebenarnya apa kelebihan perempuan yang bekerja di badan penegak hukum?

"Kalau untuk polisi, sebetulnya perempuan yang mengadukan atau melaporkan kasusnya ke polisi itu lebih senang ditangani oleh perempuan karena mereka menjadi lebih bebas untuk berbicara dan perempuan itu lebih sensitif dalam memahami persoalan mengenai perempuan," ucap wanita bergelar master di bidang psikologi dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta itu.

Ia juga menambahkan bahwa penyidik laki-laki selalu mengajukan pertanyaan yang sesuai dengan standar dan SOP nya. Sedangkan pertanyaan-pertanyaan tersebut kebanyakan dianggap tidak sensitif terhadap perempuan yang seringkali menempati posisi sebagai korban. 

Oleh karena itu, ujar dia, sesudah Kerusuhan Mei 1998 dibuat ruang-ruang khusus yang memang sepenuhnya ditangani oleh polwan. Hasilnya, wanita ternyata lebih nyaman untuk melaporkan kasus mereka. 

“Setelah ditangani polwan juga ternyata banyak yang melaporkan kasusnya meskipun toh di perjalanannya mereka tidak menyelesaikannya secara hukum," kata Sri.

Senada dengan Sri, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur Artha Theresia Silalahi juga mengatakan bahwa sensitivitas perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Ditemui di kesempatan yang sama, Artha mengungkapkan bahwa hakim wanita lebih sensitif dalam artian lebih arif dan menggambil keputusan bukan hanya berdasarkan hukum yang tertulis, namun juga filosofi dan latar belakang kasus.

Misalnya, dalam kasus pencurian. Menurut dia, pelaku memang harus dihukum, tapi hakim perempuan akan menanyakan alasan pelaku mencuri. Apa anaknya sakit? Apa dia perlu uang sedemikian rupa sehingga harus mencuri? Sebelumnya pernah mencuri atau tidak? 

Ya, seperti itu kira-kira. Hakim wanita itu sepanjang pengalaman saya lebih sensitif, lebih kepikiran. Kemampuan menetapkan hukuman tidak hanya berdasarkan pada aturan tertulis, tetapi juga mempertimbangkan hati nurani," ucap Artha.

Wanita yang memiliki pengalaman 20 tahun menjadi hakim itu juga mengatakan bahwa dalam kasus-kasus yang menempatkan perempuan sebagai korban, masih banyak hakim laki-laki menanyakan pertanyaan yang dianggap tidak sensitif. Sementara  banyak masyarakat yang masih menganggap masalah pemerkosaan adalah hal yang memalukan bagi perempuan sebagai korbannya. 

“Itu sebabnya mereka enggan melapor karena takut orang-orang tahu. Nah, bagaimana caranya kita mengurangi rasa malu mereka adalah dengan memperlakukan mereka dengan manusiawi bukan dengan mempermalukan tetapi ingin menolong," kata Artha yang pernah menjabat sebagai Kepala Hakim di Pengadilan Negeri Pangkal Pinang.

Berbeda dengan dua "srikandi hukum" tadi, Kepala Hubungan Internasional Kejaksaan Agung (Kejagung) Laksmi Indriyah Rohmulyati punya pendapat yang sedikit berbeda.

Menurut perempuan yang pernah menangani beberapa kasus teroris besar termasuk pemboman di Poso, Surabaya, dan JW Marriott Jakarta 2009 itu, tidak ada efek langsung yang diterima kejaksaan atas kasus kejahatan pada perempuan yang ditangani oleh jaksa perempuan. Hal ini karena kejaksaan menerima kasus dari polisi.

Lebih lanjut, Laksmi mengatakan tidak ada perintah langsung di kejaksaan agar kasus yang terkait dengan wanita ditangani oleh jaksa wanita. Dahulu, kata dia, memang ada kebijakan tidak tertulis bahwa kasus yang menimpa perempuan harus ditangani jaksa perempuan.

“Tapi saat ini sudah tidaki diterapkan. Menurut kantor saya setiap jaksa mau perempuan atau laki-laki harus lah sensitif dalam menangani kasus yang melibatkan wanita dan anak-anak," kata wanita lulusan S2 Hukum di Université Aix Marseilles III, Prancis.

Terganjal keluarga

Meski demikian, semakin hari semakin banyak kasus yang melibatkan perempuan semakin banyak yang dilaporkan. Hal tersebut lantas membuat ketiga wanita tadi berharap semakin banyak penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, dan hakim perempuan yang sensitif terkait kasus-kasus yang melibatkan perempuan agar mereka mau mengungkapkan masalah yang sedang mereka hadapi.

Sayangnya, masih ada beberapa hal yang dirasa cukup menghambat hal tersebut. Salah satunya seperti yang diungkapkan Artha. Ia mengatakan bahwa menurut banyak orang, pegawai perempuan sangat sulit untuk "diatur" .

"Sulit diatur misalnya harus dipindahkan ke area terpencil yang jauh dari kota besar. Biasanya mereka bergantung pada banyak hal seperti keluarga, orangtua yang sakit-sakitan, anak-anak yang masih kecil," kata Artha.

Hal itu, menurut Sri, sering terjadi karena banyak perempuan yang merasa bertanggung jawab dalam mengurus keluarga. Padahal, Sri yang pernah bergabung di Unit Psikologi Kepolisian itu mengatakan ia telah berulang kali mengatakan pada para murid-muridnya bahwa mengurus keluarga merupakan tanggung jawab pasangan suami dan isteri.

Sri juga mengungkapkan, Kepolisian telah dilakukan beberapa upaya untuk menambah jumlah polwan. Mulai dari merevisi rancangan peraturan polisi mengenai Kesetaraan Gender untuk disampaikan dan disetujui oleh Kapolri hingga meminta kepada Kapolri untuk melakukan perubahan kebijakan dalam sistem perekrutan polisi sesuai dengan amanat UUD 45 Pasal 27, Ayat 1, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Keputusan Presiden nomor 9 tahun 2000.

"Selain itu kuota perekrutan bagi perempuan untuk menjadi kandidat polisi juga telah ditingkatkan dari 3-5 persen menjadi setidaknya 10 persen," ucap Sri yang mulai bergabung di Kepolisian RI pada tahun 1985 di Unit Psikologi Polisi itu.(ita)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya