Cara Rumah Sakit di Jawa Timur Melawan Kusta

Penderita Kusta
Sumber :
  • VIVAnews/Tudji Martudji
VIVAlife – Tidak berlebihan jika sebagian besar para penderita penyakit kusta atau Morbus Hansen (Leprosy), yang juga merupakan penghuni Rumah Sakit Kusta Kediri, Jawa Timur, mengaku gembira dan bersyukur bisa menjalani perawatan di tempat ini. Sebelumnya, mereka mengaku telantar atau dikucilkan secara terang-terangan atau ditutup-tutupi oleh keluarga serta lingkungannya. 
Polres Malang Bongkar Home Industry Sabu di Jatim

Setelah menjalani perawatan di rumah sakit ini, perlahan mereka mengaku penderitaannya berangsur ringan. Cap manusia tak punya arti, menjijikkan, dan dianggap penderita penyakit keturunan atau kutukan, perlahan memudar. Senyum pun kemudian mengembang, berbaur dengan keramahan dan kepedulian dokter, perawat serta sesama pasien yang saling menyemangati.
Akhirnya Letkol Danu Resmi Jadi Komandan Pasukan Tengkorak Kostrad TNI Gantikan Raja Aibon Kogila

Puluhan pasien penderita kusta dirawat di rumah sakit yang dipimpin Dr. Nur Siti Maimunah ini. Sebut saja, Ngatemo (29), warga Desa Wonorejo, Kecamatan Puncu, Kabupaten Kediri, yang mengaku rasa putus asanya berangsur hilang. Pikiran dan hatinya pun mulai terhibur dengan berbagai kegiatan.
Mitsubishi Fuso Resmikan Diler 3S Baru di Morowali

“Awalnya, saya sudah putus asa. Keluarga yang malu, meski tidak terang-terangan, mulai mengucilkan saya,” tutur Ngatemo.

Seiring waktu, datang seorang teman yang menyarankan untuk berobat di RS Kusta milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur di Jalan Veteran, Kediri, ini. Ia pun melangkah ke rumah sakit tersebut dengan menggantungkan sebuah harapan. Yakni, sembuh dari penyakit "kutukan". 

“Saya pamit dengan keluarga, kemudian menetap di tempat ini dan sampai sekarang, sudah satu tahun,” ucapnya.

Berbekal Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), Ngatemo pun menjadi bagian yang mendapatkan perawatan seperti pasien penderita kusta lainnya.
Di sela rutinitas jadwal perawatan, ia juga mengikuti berbagai kegiatan pembinaan kreativitas.

Mulai dari membuat kerajinan tangan dari berbagai bahan yang memiliki nilai jual, membantu kegiatan pekerja serta perawat untuk membuat berbagai keperluan, hingga turut serta dalam kegiatan membuat mebel, bengkel, menjahit, listrik, dan elektronika, atau membuat sulaman dan kreativitas lainnya.

“Hati saya terhibur dengan ikut membuat berbagai kerajinan yang dibimbing dokter dan perawat di sini (rumah sakit),” kata dia. 

Melawan kusta

Ngatemo tak sungkan menceritakan riwayat penyakitnya. Saat itu, awal tahun 2012, dia mengaku mulanya tidak menyadari dirinya terserang penyakit Kusta. Badannya berangsur menyusut seiring dengan munculnya bercak kemerahan di sejumlah bagian tubuh. Bahkan, virus Leprosy juga telah menyerang seluruh persendian tubuhnya. Ngatemo tak lagi kokoh menahan berat tubuh.

Puncaknya, guna menghilangkan luka dan mencegah agar tidak menjalar ke bagian tubuh lain, di akhir tahun 2012 kaki kanan Ngatemo harus diamputasi. Kehilangan kaki sebelah membuat dia semakin sedih. Keputusasaan pun menghujam perasaan dan meredupkan semangat hidupnya. 

Dia hanya pasrah dengan ganasnya penyakit Kusta yang diderita. Meski begitu, dia mengaku terhibur karena memakai kaki palsu, buatan rumah sakit tersebut.

“Awalnya saya periksa ke puskesmas, kemudian dirujuk ke rumah sakit ini. Saat itu, dokter mengatakan saya menderita Kusta Kering,” ujarnya.

Ngatemo dibantu pengobatannya melalui jalur Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk biaya perawatan dan selama berada di rumah sakit. “Saya bersyukur, sekarang agak lumayan. Tiga bulan sekali kaki palsu yang saya pakai ini diperiksa, diukur ulang dan diganti kalau sudah sempit,” urainya.
 
Tak beda dengan Ngatemo, Muhammad Eka Mustofa (21), warga Dusun Singkal Anyar, Kecamatan Prambon, Kabupaten Nganjuk ini juga bernasib sama. Eka dirujuk ke RS Kusta ini setelah memeriksakan benjolan berwarna merah yang muncul di sekujur tubuhnya.

Awalnya di tahun 2011, Eka mengaku sekujur tubuhnya nyeri hingga tidak bisa berjalan. Keluarga kemudian membawa Eka ke Puskesmas terdekat dari tempat tinggalnya.      

Eka mengaku kerap diejek teman-temannya di sekolah, begitupula di lingkungan sekitar rumahnya. Karena terjadi perubahan di sekujur tubuhnya. Saat itu, Eka memilih menyendiri dan meratapi nasibnya.

Kini, Eka masih menjalani perawatan intensif oleh pihak rumah sakit. Kalau sedang kambuh, dia mengaku sekujur tubuhnya nyeri, tidak mampu berjalan.

Kalau sudah seperti itu, rumah sakit melakukan berbagai tindakan. Disamping pemeriksaan laboratorium juga dilakukan pemeriksaan semua simpul syaraf.

Tindakan itu dilakukan di bagian umum, kemudian di IGD dan dilakukan rawat inap. Umumnya pasien mengalami panas di sekujur tubuhnya dan puncaknya mati rasa. 

Tindakan serius pun dilakukan oleh pihak rumah sakit. Selain melakukan perawatan dan pembinaan mental juga diberikan, tujuannya menghilangkan keputusasaan.
  
Sebagai penanggung jawab, sesuai jabatannya sebagai direktur rumah sakit, Dr Nur Siti Maimunah ini tak membedakan pasiennya. Dengan penuh rasa kemanusiaan semua dilakukan.

“Itu sesuai dengan semboyan rumah sakit ini ‘Melayani Dengan Sepenuh Hati’ tanpa membedakan status dan latar belakang mereka,” ujar Nur Siti Maimunah.

Rumah Sakit Kusta Kediri yang milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur ini, lanjutnya, siap memberikan pelayanan komprehensif terhadap penderita kusta. Dr Nur menyebut, penderita penyakit kusta tidak usah malu atau minder apalagi sembunyi-sembunyi. Termasuk keluarganya, agar juga bersikap terbuka untuk memudahkan pihak rumah sakit memberikan layanan, termasuk melakukan deteksi dini. 

Kusta merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycrobacterium Leprae. Namun, saat ini penyakit tersebut sudah ada obatnya.

“Bakteri Mycrobacterium Leprae tersebut menyerang syaraf tepi, kulit dan organ tubuh lain, kecuali sistem syaraf pusat,” urai dokter lulusan Universitas Airlangga ini.

Di Jawa Timur, penyebaran penderita Kusta paling banyak terdapat di wilayah pantai utara (Pantura) dan Pulau Madura. Dari penderita Kusta se Indonesia, 50 persen ada di Jawa Timur.

Cara penularannya, pertama melalui kuman yang keluar melalui saluran napas bagian atas dari penderita Kusta MB yang belum diobati. Kedua, kontak langsung secara erat dan lama dengan penderita Kusta yang belum diobati. “Jadi Kusta itu bukan penyakit keturunan atau kutukan,” tegasnya.

Tanda-tanda Kusta, jelas dia, timbul bercak merah atau putih (disebut Makula) yang mati rasa. Rasa tebal pada telapak kaki dan atau telapak tangan. Timbul rasa nyeri pada pergelangan kaki dan tangan, siku dan lutut. Dan pemeriksaan hanya bisa dilakukan di laboratorium.   

“Dan, Kusta itu tidak hanya menyerang orang dewasa, tetapi juga bisa pada anak-anak. Untuk itu orangtua harus waspada,” kata dia.

Penderita Kusta yang menjadi cacat, menurut Nur, karena mereka terlambat berobat. Untuk itu, rumah sakit ini juga mengajak agar semua masyarakat ikut peduli melaporkan ke dinas terkait jika mendapati masyarakat sekitar atau keluarganya menderita Kusta. Jangan disembunyikan, karena alasan malu dan beranggapan itu penyakit kutukan.

Buat kaki palsu

Sementara, sebagai bentuk rasa kemanusiaan RS Kusta Kediri ini juga memproduksi kaki buatan alias kaki palsu. Itu diperuntukkan bagi pasien yang terpaksa diamputasi, karena penyakitnya sudah menjalar. Gerakan sosial pembuatan kaki palsu yang dilakukan rumah sakit ini juga diperuntukkan masyarakat umum yang membutuhkan.

Sejumlah staf rumah sakit dan melibatkan pegawai lainnya, termasuk pasien punya kesibukan membuat kaki palsu. Proses awal dilakukan, mereka yang membutuhkan kaki palsu, pergelangan kaki dan ukurannya semua dicatat rapi. Proses pun dimulai di ruang pengerjaan di dalam rumah sakit tersebut. 

Adalah Dr Slamet yang mendapat peran melaksanakan tugas mulia itu. Bersama rekan dan pasien kesibukan pun dilakukan. Dengan ceria mereka sesekali terlibat gurauan memecah kesibukan bekerja.

“Ya ini proses pembuatan kaki palsu. Kita lakukan dengan mengacu catatan daftar nama-nama pasien yang membutuhkan,” ujar Dr Slamet sambil menunjukkan proses pengerjaannya.

Semen putih, lem dan keperluan lain menyatu di ruangan produksi. Awalnya, ukuran kaki pasien dicetak untuk mendapat kepastian kebutuhan besar atau kecilnya. Kemudian proses mencetak kaki pun dilakukan. Dilanjutkan dengan mengoven, di suhu panas tertentu. Tak butuh waktu lama, proses pembuatan kaki palsu pun selesai.

“Saya berterimakasih pada RS Kusta Kediri ini, karena bisa pakai kaki palsu buatannya,” kata Ngatemo diamini pasien lainnya yang juga pengguna kaki palsu.

Kerja keras, tekun dan sabar dan terus menciptakan kegembiraan antar dokter, perawat dan para pasien memang selalu dikedepankan oleh rumah sakit ini. Dr Nur Siti Maimunah adalah pucuk pimpinan rumah sakit yang mencanangkan itu.

“Kita disini seperti keluarga besar, penderitaan mereka adalah tantangan dan tugas kita. Itu lah yang mendasari kita bekerja ikhlas dan hasilnya seperti yang anda lihat,” ucap Dr Nur sambil tersenyum.

Dr Nur menuturkan, sebagai pimpinan dia mengaku selain menjalan tugas sesuai visi dan misi, tetapi juga tak meninggalkan kedekatan berkomunikasi layaknya keluarga.

“Karena mereka (para pasien) tidak sekedar membutuhkan layanan untuk penderitaan penyakitnya. Soal lainnya juga kita perhatikan, termasuk curhat dan kesulitannya kita carikan jalan keluar,” kata Dr Nur.

Pasien yang sudah mampu secara fisik kemudian diberikan bekal keterampilan oleh pihak rumah sakit seperti, menjahit, menyulam, bengkel, seni karawitan, melukis dan kreatifitas lain. Sebagai bekal kelak kembali ke keluarga dan berbaur kembali di masyarakat.  

Dr Nur juga tetap mengawasi pasien paska keluar dari rumah sakit. Dengan melibatkan diri dalam pembinaan perkumpulan pasien eks penderita kusta, yang bernama Yayasan Permata.   
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya