Sering Bertengkar dengan Pasangan Membuat Gemuk

Ilustrasi pasangan bertengkar
Sumber :
  • iStock
VIVAlife
Mudik Lebaran 2024 Dinilai Beri Dampak Positif untuk Perekonomian Indonesia
- Apakah kondisi rumah tangga Anda baik-baik saja? Sebaiknya jaga dengan baik kondisi tersebut, karena menurut sebuah penelitian, konflik dan depresi dalam pernikahan dapat menyebabkan kegemukan.

Bakal Ada Adegan Ranjang Kim Soo Hyun dan Kim Ji Won di Queen of Tears?

Berdebat dengan pasangan hingga depresi dapat meningkatkan risiko obesitas pada orang dewasa. Karena hal tersebut yang mengubah proses pencernaan makanan tinggi lemak.
Prediksi Pertandingan Liga 1: Persib Bandung vs Persebaya Surabaya


Penelitian menemukan pria dan wanita dengan riwayat depresi yang sering beragumen dengan pasangan, hanya membakar sedikit kalori setelah makan, daripada pasangan yang jarang bertengkar.

Pasangan ini juga memiliki kadar insulin yang tinggi, di mana memberikan kontribusi penyimpanan lemak, dan
trigliserida
atau sebuah bentuk lemak di dalam darah.


Jan Kiecold Glaser, kepala peneliti dari Ohio State University mengatakan, betapa pentingnya mengobati kesehatan mental.


Studi baru tersebut mengganti penelitian dia sebelumnya yang menemukan bahwa, wanita yang sedang stres berat badannya akan bertambah karena metabolisme mereka melambat, di mana hanya membakar 100 kalori per hari.


Jan Kiecold Glaser mengatakan, temuan ini tidak hanya mengidentifikasi bagaimana stres kronis dapat menyebabkan obesitas, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya untuk mengobati suasana hati.


"Hasil kami mungkin meremehkan risiko kesehatan karena efek dari satu kali makan dapat dianalisis. Kebanyakan orang makan setiap 4-5 jam dan sering makan dengan pasangan mereka," katanya seperti yang dilansir
Dailymail
.


Pada dasarnya, lanjut Jan, makanan memberikan kesempatan pada pertengkaran di dalam pernikahan yang bermasalah, sehingga ada pola kerusakan metabolisme yang berasal dari permusuhan dan depresi.


Para peneliti meneliti 43 pasangan sehat berusia 24-61 tahun yang telah menikah setidaknya 3 tahun. Mereka diminta untuk menyelesaikan kuisioner yang berisi kepuasan pernikahan, gangguan suasana hati, masa lalu dan gejala depresi.


Selama penelitian, mereka makan telur, sosis, kalkun, biskuit gurih dan saus yang mencapai 930 kalori dan 60 gram lemak. Makanan itu dirancang untuk meniru menu pada restoran cepat saji.


Dua jam kemudian, masing-masing pasangan diminta untuk mendiskusikan dan mencoba menyelesaikan masalah yang diberikan oleh peneliti. Masalah tersebut dinilai sebagai kemungkinan dapat menghasilkan konflik. Topiknya adalah uang, komunikasi dan mertua.


Dari hasil diskusi pasangan, peneliti memperoleh data dengan menggunakan alat yang diukur melalui aliran udara yang dihirup dan dihembuskan oksigen dan karbondioksida.


Contoh darah diambil beberapa kali setelah makan untuk mengukur glukosa, insulin dan trigliserida kemuidan membandingkannya dengan tingkat dasar.


Peserta dengan riwayat gangguan suasana hati dan pernikahaan rata-rata membakar 31 kalori. Pada pengukuran pertama setelah makan, mereka juga memiliki rata-rata 12 persen lebih banyak insulin dalam darah dibandingkan pasangan dari pernikahan dengan rendahnya tingkat permusuhan.


Insulin berkontribusi untuk penyimpanan lemak, sehingga kadar insulin lebih tinggi biasanya menyebabkan penambahan berat badan.


Tingkat insulin mereka tidak sama denganĀ  peserta lain, lebih rendah dua jam setelah makan.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya