FOTO: Menjemput Fajar di Bukit Kingkong

Menjemput Fajar di Bukit Kingkong Dari Ngadas
Sumber :
  • VIVAnews/Dyah Ayu Pitaloka
VIVAlife -
Ford Fiesta Nekat Tembus Jalur Bromo, Berujung Tersangkut di Rawa
Berkunjung ke Bromo tidak lengkap rasanya tanpa melihat fajar di awal hari. Cakrawala yang luas dari ketinggian 2.600 meter di atas permukaan laut seolah membawa mata lebih dekat dengan sang bola api, saat berada di Bukit Kingkong. Di pagi yang cerah tanpa kabut, berada di bukit Kingkong seolah sedang berdiri di atas awan.

2 Transgender Thailand Mencari Pembebasan dari Dinas Wajib Militer

“Bukit Kingkong adalah
BRI Cetak Laba Rp 15,98 Triliun di Kuartal I-2024, Penyaluran Kredit Tembus Rp 1.308 Triliun
spot baru untuk menikmati matahari terbit. Letaknya sekitar 200 meter di bawah Penanjakan 1,” kata Humas Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BBTNBTS) Bambang Rudi.

Sekitar pukul 03.30 pagi, garis berwarna jingga mulai muncul di ufuk Timur, meskipun tipis, warna terangnya menyita perhatian semua mata. Sinarnya memunculkan berbagai gradasi warna di langit yang sebelumnya gelap.

Di Bukit Kingkong pergerakan matahari bisa diikuti dengan jelas. Fajar yang segaris semakin melebar diikuti matahari yang muncul dari balik cakrawala sekitar pukul 05.30 pagi itu. Seolah menyingkap tirai yang menutupi Gunung Bromo, Batok dan puncak Semeru yang menyita perhatian.

Penanjakan, yang berada di ketinggian 2.700 mdpl, sering dikenal sebagai destinasi wajib pemburu fajar ketika berada di Bromo. Namun, karena kepopulerannya, tak jarang penanjakan tak mampu lagi menampung pengunjung. Bukit dengan kapasitas maksimal 3.000 orang itu jadi tak nyaman lagi untuk menikmati fenomena fajar.

Tempat yang sempit menyebabkan banyak pengunjung hanya kebagian punggung pengunjung lain saat fajar baru saja muncul. Bahkan para pengunjung sering nekat membahayakan diri keluar pagar tebing atau naik di menara telepon seluler yang ada di sekitar penanjakan.

“Saking inginnya memotret fajar, mereka nekat loncat ke area tebing di luar pagar. Itu sangat berbahaya,” jelas Bambang.


Sementara itu, di Bukit Kingkong, dengan kapasitas sekitar 1.000 orang, hingga kini belum pernah mengalami
overload
. Seperti pagi itu, pengunjung terlihat menikmati pergerakan matahari tanpa terganggung punggung ataupun berdesakan dengan pengunjung lain.


Wajah Kingkong

Bukit Kingkong baru dikenal sebagai lokasi baru sekitar tiga tahun terakhir. Untuk menuju lokasi pengunjung hanya perlu berjalan kaki sekitar 200 meter dari tepi jalan, tempat mobil menurunkan penumpang.


Jalan yang turun menuju
spot
tak terasa melelahkan, di kiri dan kanan jalan setapak yang telah dipasang paving pengunjung bisa mendapati pohon cemara gunung ataupun semak-semak menyerupai ekor burung merak yang disebut dengan nama lokal merakan.


Sampai di tempat, pengunjung bisa menikmati
sunrise
dengan aman dari balik pagar buatan setinggi dada orang dewasa. Suhu pagi di bulan Oktober mencapai 12 derajat celsius membawa kesan sejuk tanpa menyebabkan tubuh menggigil.


“Ini
spot
baru, jika penanjakan
overload
kami sarankan pengunjung datang ke sini,” kata Bambang.


Selain baru, nama Bukit Kingkong juga terdengar berbeda di telinga, mengingat Kingkong bukanlah primata endemik Indonesia. Pengunjung baru mengetahui jawabannya dengan mengamati salah satu tebing yang menonjol di bukit tersebut.


“Tebing ini jika diamati lebih lama menyerupai kepala dan wajah Kingkong, itulah sebabnya banyak yang menyebut
spot
ini sebagai bukit Kingkong,” jelasnya. 


Tebing yang terpahat alami itu berada tepat di belakang pagar pembatas pengunjung untuk berdiri. Batuan yang menonjol dan beberapa ceruknya seolah menyerupai mata dan hidung Kingkong.


Puas menangkap fajar dan matahari yang mulai naik pengunjung bisa menjajal rute treking ke Seruni Point, sekitar 500 meter di bawah Bukit Kingkong. Meskipun jaraknya pendek namun jalan yang memutari bukit membuat rute yang seharusnya dekat bisa ditempuh sekitar 30 menit dengan ritme jalan santai.


Kali ini jalan setapak masih alami tanpa lapisan paving. Debu dan batu alam jadi pijakan saat treking, membuat perjalanan terasa penuh dengan tantangan. Sepanjang jalan pengunjung bisa berhenti untuk mengamati indahnya Bromo dan lautan pasir yang terhampar di bawah dengan jarak yang semakin dekat.


Sampai di Seruni Point sediakan waktu untuk duduk beristirahat sambil menikmati gunung dengan ketinggian 2.200 mdpl yang tampak berada sejengkal dari mata. Seruni Point bisa jadi alternatif tempat berburu foto bila ingin mengabadikan Bromo dan Gunung Batok lebih dekat dan dengan sudut berbeda. Ada gazebo dan sejumlah tempat duduk buatan di Seruni Point.


“Ini sering disebut sebagai penanjakan dua. Jika akhir pekan atau libur panjang parkiran mobil untuk ke penanjakan satu bisa sampai di sini. Daripada pengunjung berjalan naik sekitar 700 meter dan ketinggalan
sunrise
atau dapat punggung lebih baik belok ke Kingkong atau ke Seruni Point ini,” ujarnya.


Menuju Bukit Kingkong


Untuk menuju lokasi, para pengunjung bisa melewati beberapa jalur, mulai dari jalur Wonokitri Kabupaten Pasuruan, kemudian dari jalur Cemoro Lawang Kecamatan Ngadisari, Kabupaten Probolinggo atau dari Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang. Pengunjung bisa menyesuaikan jalur dari lokasi pemberangkatan mereka, apakah dari Pasuruan, Probolinggo atau Malang.

 

Jika telah berada di pintu masuk tiga jalur tadi pengunjung tidak akan kesulitan menemukan Jeep yang disewakan. Sejak tahun 2012 TNBTS membatasi kendaraan pribadi yang akan masuk ke kawasan cukup sampai pintu masuk saja. Dari sana pengunjung bisa menyewa ojek ataupun jeep dengan tarif berbeda. Penumpang cukup menyebut alamat yang dituju pada sopir masing-masing kendaraan tersebut.


“Kalau dari Ngadas tarifnya Rp600 ribu satu mobil untuk enam penumpang. Rutenya jam 02.00 pagi berangkat dari Ngadas kemudian ke Penanjakan, lihat
sunrise,
kembali ke Bromo dan terakhir ke padang savana melihat pasir berbisik," kata Giman, salah satu penyedia jasa sewa Jeep di Ngadas.


Jika ingin naik ojek, tarifnya berkisar Rp100-200 ribu dari Cemoro Lawang ke Penanjakan. “Karena berangkat dari Ngadas pulangnya juga akan saya
drop
di Ngadas,” lanjutnya.

 

Normalnya sekitar pukul 10.00 pagi tur fajar akan usai. Selama di Ngadas jangan tergesa untuk segera beranjak pulang. Ada banyak hal menarik di desa yang telah ada sejak tahun 1700-an itu.


Di desa dengan ketinggian 2.100 mdpl itu pengunjung bisa melihat warga bertani di atas lahan miring yang berada di pinggir bukit. “Lahan pertanian di sini selalu di tepi bukit dengan kemiringan sekitar 30 derajat. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani kentang,” kata Kartono, mantan kepala desa setempat.


Selama ratusan tahun warga desa tetap berpegang pada adat Tengger, tak boleh menjual tanah ke warga luar Tengger. Praktis lahan pertanian yang ada saat ini nyaris tak berubah jumlahnya dengan ratusan tahun lalu.


 “Total lahan pertanian ada 38 ribu hektare dan lahan non pertanian sekitar 425 hektare di Ngadas,” sebutnya.

 

Di desa dengan 1858 jiwa itu adat Tengger masih terpegang kuat. Pemandangan warga yang mengenakan sarung sebagai atribut sehari-hari serta bahasa Tengger yang digunakan sebagai alat komunikasi utama seolah membawa pengunjung ke suasana baru, jauh dari hiruk pikuk kota.


Jika ingin menggenapi pengalaman menjadi orang Tengger, warga juga menyewakan rumahnya sebagai homestay dengan tarif Rp200 ribu per kamar untuk satu malam.


“Ada sekitar 35
homestay
di Ngadas dengan tarif sama dan kebersihan yang terjaga,” kata Kartono.


Namun, Kartono tidak menyarankan pengunjung datang saat hari besar keagamaan berlangsung, seperti ketika upacara Kasada. Selain
homestay
akan penuh, dengan pengunjung suasana Tengger juga akan berubah ramai.


“Kalau memang mau datang waktu Kasada sebaiknya sudah pesan
homestay
dan jeepnya. Kalau tidak pesan, bisa tidak kebagian tempat,” tandasnya.


Lihat foto-foto matahari terbit dari Bukit Kingkong di
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya