Terlalu Banyak Belajar, Bisa Membuat Anak “Terbakar"

Anak stres belajar.
Sumber :
  • istock

VIVAlife – Belakangan ini di media sosial beredar kabar, seorang anak wanita berumur 6 tahun, sampai harus dirawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ), akibat terlalu diforsir orangtuanya mengikuti terlalu banyak les, disamping aktivitas sekolah.

Sang anak yang terlalu banyak dicekoki pelajaran di usia dini, diduga mengalami burnout (seperti terbakar) atau kondisi kejiwaan yang sangat lelah akibat aktivitas terlalu banyak. Artikel lengkap mengenai berita ini bisa

RA Oriza Sativa, SPsi, Psi, CH. CCR, psikolog klinis dari Rumah Sakit Awal Bros mengatakan, kasus ini termasuk langka karena biasanya gangguan mental pada anak-anak, belum pernah ada yang sampai harus dikirim ke RSJ.

Kepada VIVAlife ia jelaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang memiliki gangguan kejiwaan. Salah satunya harus dilihat dulu faktor genetiknya, apakah memang ada riwayat di keluarga dan lain-lain. Tetapi yang sering terjadi, faktor anak burnout itu, biasanya dipicu karena si anak dipaksa sekolah di usia yang seharusnya belum pantas sekolah.

Usulan Kejaksaan Izinkan Lima Smelter Perusahaan Timah Tetap Beroperasi Disorot

"Atau yang seperti terjadi pada kasus ini, selain sibuk sekolah, si anak di rumah juga masih dicekoki banyak les. Padahal di usia tumbuh kembangnya, dia belum mampu menampung semua hal tersebut,” ujar psikolog, yang menjadi langganan acara talkshow di televisi itu.  

Menurutnya, cara orangtua mendidik anak menentukan kondisi kejiwaan buah hatinya. Jika Anda terlalu khawatir si kecil tidak pintar, tidak berprestasi, lalu memberi banyak beban dalam bentuk les ini dan itu, cepat atau lambat hal ini akan menyiksa si anak.

Oriza mengakan, orangtua harusnya percaya bahwa seorang anak dengan sendirinya akan menjadi pintar, sesuai dengan umur dan pelajaran yang ia serap, tanpa mesti harus Anda paksa dalam waktu tergesa.

Sikap salah orangtua yang lain, adalah sering membandingan si kecil dengan anak tetangga, dengan anak sepupu, atau dengan anak teman di kantor. Seolah-olah mereka akan malu, kalau anaknya tidak lebih unggul dari anak orang lain. Padahal mereka harusnya sadar, keunggulan masing-masing anak itu berbeda. Ada yang hebat di pelajaran menghitung, ada yang pintar menggambar, dan ada yang hebat di pelajaran sains.

Mahfud MD Blak-blakan Soal Langkah Politik Berikutnya Usai Pilpres 2024

"Jadi setiap anak unik, dan tidak mungkin dibanding-bandingkan seperti itu,” kata sang psikolog.

Jangan paksa bakat anak

Perlu diketahui, tugas anak-anak itu sebenarnya cuma dua. Yang pertama bermain, yang kedua belajar. Jadi meski sebagai ayah bunda kita mengarahkan mereka untuk rajin belajar, namun jangan lupakan hak anak untuk mendapatkan waktu bermain yang cukup.

Janganlah terus menerus dipaksa belajar, namun hak bermainnya dihapus. Justru hal seperti ini tidak alamiah dan berpotensi membuat otak si anak burnout. Padahal slogan yang selama ini beredar, dunia anak adalah dunia bermain.

Oriza mengatakan, definisi pintar seorang anak itu juga tidak terbatas pada sekadar nilai-nilai ulangan bagus. Pintar itu ada bermacam ragamnya. Jika si kecil nilai ulangannya tak terlalu baik di matematika, namun ia terlihat hebat mengiring bola di lapangan, berarti saat besar berpotensi menjadi pesepakbola. Bukankah itu baik?

Jadi, jangan sama ratakan kemampuan anak Anda dengan anak orang lain. Buat apa anak dipaksa harus pintar matematika, padahal passionnya ada di bidang olahraga? “IQ memadai seorang anak itu ada di range 90 – 110. Jadi kalau hasil test IQ-nya ada di rentang angka itu, berarti ia sudah termasuk pintar. Jangan lagi Anda paksa ia menjadi sesuatu, yang secara alamiah tidak ia kuasai.”

Ditambahkan, memberi les itu boleh asalkan anaknya memang terlihat suka dengan bidang pelajaran itu. Namun ingat, jangan terlalu banyak, karena segala sesuatu yang berlebihan pasti tidak baik.

Psikolog ini menerangkan, bentuk kepintaran anak yang lain adalah dalam pergaulan. Seorang anak yang pandai bergaul juga merupakan skill hidup yang harus dihargai. Menurutnya, seorang anak minimal harus memiliki satu orang kawan. Dengan demikian, ia tetap dapat berinteraksi dengan lingkungan, selain keluarganya di rumah.

Baca juga:




Ekonomi Global Diguncang Konflik Geopolitik, RI Resesi Ditegaskan Jauh dari Resesi
Jemaah haji Indonesia mendengarkan khutbah Subuh jelang wukuf.

Cegah Informasi Simpang Siur, Jemaah Haji Diimbau Tak Bagikan Kabar Tidak Benar di Media Sosial

Menurut Direktur Bina Haji PHU Arsad Hidayat, jemaah haji diminta tidak asal membagikan informasi yang beredar di media sosial yang belum jelas kebenarannya.

img_title
VIVA.co.id
27 April 2024