Menilik Pewarnaan Batik Berbasis Alam

Koleksi batik dengan pewarna alam
Sumber :
  • VIVAnews/Riska Herliafifah

VIVAlife - Kekayaan dan keindahan kain di Indonesia sudah tidak diragukan lagi. Dari Sabang sampai Merauke, memiliki ciri khas tersendiri. Mulai dari batik, tenun, hingga songket.

Coba-coba Bikin Mobil Listrik, Xiaomi Dibuat Kaget

Akibat Banjir, Penerbangan Perdana Maskapai Emirates Airbus 380 dengan 592 Penumpang dari Dubai ke Bali Dibatalkan

Ketika benang dipintal dan berubah menjadi selembar kain, salah satu tahap yang mempercantik kain tersebut adalah pewarnaan. Pada umumnya, yang digunakan sebagai pewarna tekstil adalah bahan kimia, atau sintetis. Namun, dedaunan dan akar-akaran bisa menjadi alternatif yang lebih baik. Seperti yang dilakukan oleh Florentini, atau yang akrab di sapa Ibu Flo dengan nama Flo Natural Dyes.

Didorong keinginan untuk terus melestarikan budaya warisan nenek moyang, juga sebagai ungkapan bentuk kepeduliannya pada kelestarian lingkungan, Flo pun tergerak untuk membuat kain batik dengan menggunakan pewarna alami.

Presiden Direktur P&G Indonesia Sebut Prospek Masa Depan Indonesia Cerah 

"Waktu itu lagi booming back to nature, akhirnya kita ada khusus mewarnai di bale batik. Kita buat dan produksi. Kita bawa ke pameran ternyata animo pelanggan tinggi dan kita jadi pede," kata Flo saat ditemui VIVAlife, di pameran Crafina di JCC, Jakarta Selatan.

Flo menambahkan bahwa alasan menggunakan pewarna alam, karena untuk mengurangi limbah yang dihasilkan oleh pewarna sintetis. Bila tidak pandai mengelolanya, bisa mencemari lingkungan dan para pekerja terkena imbasnya.

Warna-warna alam yang biasa dipakai oleh batik yang diproduksi di Yogyakarta ini diantaranya biru, hijau, kuning, cokelat, abu-abu hingga krem. Warna-warna itu dihasilkan dari beragam tanaman.

"Semua tanaman sebenarnya bisa. Tetapi, kadar warna yang keluar tiap daun, atau kayu itu berbeda-beda. Biasanya, kita pakai daun mangga, atau daun jati," jelasnya.

Untuk warna biru, jelas Flo, dikeluarkan dari tanaman tom atau indigo, hijau dengan daun mangga, abu-abu dari daun rambutan dan kuning memakai kayu nangka.

Proses pengeluaran warnanya dilakukan dengan cara direbus. Flo menjelaskan bahwa biasanya dari 10 kilogram daun, yang bisa dilakukan pewarnaan hanya satu kilogram. Setelah itu, kain dicelup selama 8-16 kali. Untuk warna biru, prosesnya sedikit berbeda karena dilakukan dengan cara fermentasi.

Setelah dicelup, proses berikutnya adalah dijemur. Proses ini biasanya dilakukan saat musim kemarau.

"Kalau pas musim hujan, jadi masalah kan, satu kali celup aja kan nggak cukup. Kalau yang ada malamnya ini, nggak mungkin panas-panas, jadi bisa leleh. Kalau yang polos masih bisa," kata Flo.

Ia pun menambahkan, warna yang dihasilkan dari matahari langsung dan hanya diangin-anginkan akan berbeda. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya