Annapura, Mandapa, Tira: Kisah Perjalanan Tiga Negara

Boracay
Sumber :
  • VIVA.co.id/Lesthia Kertopati

VIVA.co.id -  Guncangan lembut saat roda pesawat beradu dengan landasan membuat saya terbangun. Saya sedikit terhenyak di kursi. Kabin yang sebelumnya tenang, kini penuh suara. Di luar, jendela terlihat begitu terang. Ada huruf-huruf besar yang berbaris di luar jendela, tulisannya Tan Son Nhat International Airport, bandara terbesar di Vietnam.

Polisi Sebut Wanita yang Ditemukan Tewas di Dermaga Pulau Pari Kerja Open BO

Satu demi satu penumpang turun dari kabin pesawat. Memasuki bandara, terdengar bahasa yang asing. Lucu, sekaligus menyenangkan. Saya yakin, perjalanan kali ini akan penuh petualangan.

Perjalanan kali ini, dimulai dengan ironi. Saya, yang biasanya selalu menyiagakan diri datang lebih awal ke bandara, tertinggal pesawat. Seharusnya, dari Jakarta, saya terbang ke Singapura, transit selama 20 jam, kemudian menumpang pesawat lanjutan hingga ke Ho Chi Minh City (HCMC) yang juga dikenal dengan nama Saigon, kota terbesar di Vietnam.

Sayangnya, kendati sudah tiba lebih awal di Soekarno-Hatta, karena keteledoran dan terlalu santai dengan waktu, saya tertinggal pesawat ke Singapura. Alhasil, saya harus membeli tiket baru untuk mengejar pesawat lanjutan ke Vietnam. Untunglah, setelah itu perjalanan terus lancar, walaupun harus berlari mengejar waktu dan jadwal.

Bayangkan saja, dalam waktu dua minggu, saya harus melintasi empat kota di tiga negara. Lupakan slow travel, dimana Anda bisa berleha-leha menikmati setiap sudut kota, ini adalah fast travel pertama yang saya lakukan, dengan bujet yang ketat pula. Tapi, di situlah letak petualangannya.

Dua Anak-anak Sempat Terjebak di Dalam Toko Bingkai yang Kebakaran

Vietnam

Dimulai dari Ho Chi Minh City di Vietnam, di mana saya menikmati surga kuliner dan keramahan ala Indochina, kemudian menyusuri jalan darat ke Phonm Penh serta Siem Reap di Kamboja, di mana saya menemukan kedamaian batin, kemudian menyeberang jauh ke Boracay, Filipina, di mana pasir putih dan birunya pantai, mengantar saya menuju lelap, liburan dalam arti sebenarnya.

Sejuta rasa Saigon


Jika Anda pencinta kuliner, Saigon adalah surga. Setiap sudut menjajakan makanan beraroma lezat, dari camilan hingga makanan berat, dari warung pinggir jalan hingga restoran papan atas. Semua menyajikan menu yang menggoyang lidah. Soal harga, tak perlu khawatir. Dibanding Jakarta, harga makanan di Saigon, yang notabene sama-sama metropolitan, terbilang lebih murah.

Contoh saja, di L'usine, sebuah restoran bergaya hipster di daerah Distrik 1, tepatnya di area Benh Than Market. Harga makanannya hanya setengah dari harga restoran serupa Jakarta. Sementara, hidangan yang disajikan, tidak jauh berbeda dengan cafe eksklusif di hotel bintang lima.

Tapi, yang membuat saya jatuh cinta adalah makanan pinggir jalan yang penuh rasa dan nuansa. Salah satu makanan terlezat yang saya coba di Saigon adalah Bun Thit Nuong, atau bihun dingin dengan daging panggang dan lumpia, yang ditaburi acar wortel, serta kuah bersambal. Rasanya gurih, manis dan pedas sekaligus.

Selain bihun campur tersebut, saya juga mencicipi Hot Ga Ta Lon, yakni kerang bakar yang disiram saus ikan. Kedua hidangan tersebut, ditambah segelas es teh, hanya seharga 60 ribu dong atau sekitar Rp30 ribu. Murah dan kenyang.

Kondisi Mengenaskan 5 Korban Kebakaran Toko Frame Mampang Jakarta Selatan

Hidangan Vietnam

Bun Thit Nuong adalah hidangan yang sangat populer di Vietnam, selain Pho, mi kuah dengan daging dan bakso. Anda bisa menemukan kedua hidangan tersebut di hampir seluruh sudut Saigon, 24 jam. Penjualnya pun macam-macam, dari warung pinggir jalan, hingga restoran.

Jika belum puas, coba saja Banh Mi, roti baget ala Vietnam yang lezat. Seperti juga Bun Thit Nuong dan Pho, roti ini juga mudah ditemukan di seluruh Saigon. Isiannya yang begitu kaya, campuran antara sayur, acar, abon serta daging asap, membuat Banh Mi cocok sebagai teman jalan-jalan. Satu porsi Banh Mi, harganya hanya Rp10 ribu, dan cukup mengenyangkan.

Saya sempat bercakap-cakap dengan Nguyen, penjual Banh Mi di pinggir Jalan Bui Vien, area backpacker di Distrik 1 Saigon. Menurutnya, ada cita rasa Perancis di roti isi tersebut. Nguyen, yang sudah 10 tahun berjualan Banh Mi, mengatakan, roti itu merupakan buah cinta Vietnam dan Prancis.

"Kami, bangsa Vietnam, tidak lagi dijajah Prancis, tapi kami semua setuju, bahwa baget adalah roti yang sangat lezat dan Banh Mi adalah bukti kecintaan Vietnam akan roti Prancis itu," ujar Nguyen, yang mengatakan Banh Mi adalah 'pesta' di atas lidah.

Jajanan pinggir jalan lainnya yang juga membuat saya jatuh cinta adalah makanan serupa martabak, bernama Banh Trang Nuong. Camilan yang satu ini, harganya sangat murah, Rp5 ribu saja. Melihat penjual Banh Trang Nuong mempersiapkan hidangan menjadi atraksi yang sangat menarik.

Pertama, dia akan meletakkan selembar kertas bulat kaku yang terbuat dari tepung beras di atas panggangan. Dia kemudian memecahkan sebutir telur puyuh di atas kertas beras itu dan menambahkan beragam isian, seperti bawang daun, abon, serta ayam suwir.

Selanjutnya, saus dan beragam bumbu dia taburkan di atasnya. Setelah telur matang dan kertas berubah warna menjadi kecoklatan, dia akan menekuk kertas tersebut menjadi bentuk setengah lingkaran dan meyerahkan pada pembeli. Seluruh persiapan itu hanya butuh waktu 5 menit saja. Soal rasa, tidak perlu ragu. Saya saja tidak sabar mendaratkan gigitan, ketika aroma wangi camilan tersebut mengudara.

Di Saigon, saya tinggal bersama keluarga lokal. Mereka dengan senang hati mengajak saya makan malam setelah seharian berkeliling kota. Seperti juga di Indonesia, makan malam orang Vietnam tidaklah formal, melainkan penuh kekeluargaan.

Seluruh hidangan yang berupa semur daging, oseng terong manis, lalapan, serta sayur labu, diletakkan di atas meja, sementara orang-orang duduk bersila sembari memegang mangkuk nasi masing-masing, dengan sumpit siap di tangan.

Tidak ada aturan khusus, pilih lauk yang Anda suka, letakkan dalam mangkuk dan makan. Hanya ada satu peraturan yang cukup unik, jika mangkuk nasi Anda bersih tak bersisa, tandanya, Anda meminta empunya rumah untuk tambah. Dia pun akan sigap 'merebut' mangkuk nasi Anda dan mengisinya kembali. Jadi, jika merasa sudah cukup, sisakan sedikit nasi di dalamnya dan letakkan mangkuk dengan sumpit tersilang di atasnya.

Bagi Anda petualang kuliner, Saigon juga penuh dengan “surga tersembunyi”, berupa restoran dan kafe subkultur yang menawarkan hidangan edgy yang dikemas secara unik. Salah satu kafe subkultur yang saya temukan bernama Gummy.

Jika Anda bukan penduduk asli Saigon, mustahil bisa menemukan Gummy. Pasalnya Gummy terletak di sebuah apartemen tua yang berlokasi di daerah padat pertokoan. Bukan di tempat yang mudah ditemukan pula. Gummy berada di sebuah sudut tertutup di lantai dua. Panandanya hanya sebentuk papan nama dengan tulisan Gummy yang dipasang di atas pintu kaca.

Namun, saat Anda masuk ke dalam, suasana nyaman dan homey khas kafe langsung terasa. Dekorasinya unik dengan dinding yang dipenuhi figura berisi kutipan-kutipan inspiratif. Mejanya dibuat dari mesin jahit lama beralas tegel vintage, sementara menunya ditempel di botol anggur bekas. Menu yang ditawarkan adalah steak ayam dengan beragam saus, es teh dan es krim . Cara penyajiannya unik, karena steak tidak disajikan dengan kentang, melainkan roti tawar.

Anda ingin merasakan kehidupan malam di Saigon? Bui Vien adalah jawabannya. Area backpacker itu dipenuhi bar, cafe, restoran serta klub yang terus buka hingga pagi menjelang. Tak perlu khawatir kelaparan, ketika restoran tutup, banyak penjual yang menjajakan camilan dari atas sepeda, mulai cumi bakar hingga Banh Mi.

Tapi, saya penasaran dengan hidangan barbeque jalanan yang kerap jadi rekomendasi di Bui Vien. Pasalnya, bukan hanya barbeque biasa yang menawarkan daging sapi, ayam dan seafood, Saigon Night BBQ menjual beragam daging eksotis. Saya memilih daging kanguru dan rusa untuk dicicipi.

BBQ Saigon Night

Daging kanguru rasanya mirip dengan daging domba, lembut dan gurih sementara daging rusa seperti daging sapi namun dengan tekstur yang lebih lembut.

Mengutip Eat Pray Love karya Elizabeth Gilbert, Vietnam adalah Italia bagi saya, di mana saya menikmati hidup lewat beragam makanan lezat. Bertemu orang-orang yang sepaham dengan saya soal rasa, dan menemukan sekelumit 'surga' lewat tiap gigitan. Seolah Dewi Annapurna, dewi Hindu yang bertanggung jawab atas makanan, mengiringi saya di setiap langkah di Saigon.

*

Menapaki sejarah 900 tahun di Siem Reap

Petualangan saya berlanjut di Kamboja. Dari Saigon, saya menumpang bus ke Phnom Penh, Ibu Kota Kamboja. Perjalanan memakan waktu sekitar 8-10 jam, tergantung lalu lintas. Melakukan perjalanan darat dari satu negara ke negara lain, cukup menarik.

Pasalnya, Anda disuguhi keseharian warga lewat jendela, dan bagaimana budaya dan cara hidup berbaur dan berubah seiring perjalanan. Semakin dekat ke Kamboja, di pedesaan saya melihat banyak rumah panggung dari kayu, yang kini sudah mulai langka. Bentuknya mirip seperti Rumah Betang, rumah panggung Suku Dayak.

Hampir empat jam berkendara, bus kami berhenti di perbatasan, di mana kita harus melapor ke imigrasi. Prosesnya mudah, hanya 30 menit, mendapatkan cap keluar dari imigrasi Vietnam, lalu mendapatkan cap masuk imigrasi Kamboja, yang hanya berjarak 200 meter.

Kamboja punya sebutan unik, yakni 'Negeri Satu Dolar'. Kenapa disebut demikian, karena kendati Kamboja punya mata uang sendiri, Riel, warga lokal lebih suka menerima dolar Amerika Serikat, yang dianggap lebih berharga. Oleh karena itu, semua barang dan jasa di Kamboja, terutama di daerah yang padat turis, semuanya berbasis dolar.

Tapi tidak perlu khawatir, kendati menggunakan dolar, biaya hidup di Kamboja masih terjangkau. Sekali makan, hanya sekitar US$5, itu pun sudah terhitung mewah.

Namun, perjalanan saya kali ini, bukan lagi tentang makanan. Melainkan pencarian spiritual. Tujuan utama saya ke Kamboja tentulah Angkor Wat, candi dari abad ke-12 yang terletak di Siem Reap.

Dari Phnom Penh, Siem Reap berjarak 10 jam perjalanan menggunakan bus. Tidak sulit mencari bus yang menuju pusat wisata Kamboja ini. Selain mudah dicari, fasilitas busnya pun cukup lengkap. Salah satu yang paling penting adalah fasilitas wi-fi alias internet gratis, sehingga perjalanan Anda jauh dari membosankan.

Anda juga tidak usah cemas tidak kebagian tempat tinggal. Siem Reap dibanjiri penginapan di berbagai sudut, dari hostel dan bungalo murah untuk backpacker hingga hotel dan resort eksklusif bagi pejalan mewah. Harga kamar kelas backpacker berkisar dari US$10-US$30 per malam. Jika Anda jeli mencari, ada juga akomodasi murah meriah dengan harga US$1 saja, yang menawarkan pengalaman tidur di hammock atau tempat tidur gantung di udara terbuka.

Mengunjungi Angkor Wat butuh persiapan mental. Anda harus memulai hari ekstra pagi. Moda transportasinya pun beragam, dari berjalan kaki, bersepeda, atau menggunakan tuk tuk. Saya memilih moda yang terakhir.

Kegiatan di Angkor Wat dimulai sejak pukul 5 pagi, karena banyak turis yang memburu momen matahari terbit. Jangan heran bila sejak subuh, kuil berusia 900 tahun itu sudah dipadati turis mancanegara dengan beragam tipe kamera, dari DLSR profesional hingga ponsel. Semua tumpah ruah, silang selingkat di seberang danau teratai di halaman depan kuil, demi menangkap momen langka, sinar matahari pertama yang menerangi puncak-puncak kuil.

Semakin siang, kuil akan semakin ramai. Tapi, karena ukuran kuil yang masif, Anda tidak akan berdesakan.

Kuil yang bisa dikunjungi pun tidak hanya Angkor Wat, terdapat pula 40 kuil lainnya yang bisa Anda eksplorasi. Namun, dua lainnya yang paling besar dan populer adalah Bayon dan Ta Phrom.

Jika Angkor Wat awalnya dibangun sebagai kuil Hindu guna memuja Dewa Wisnu, Kuil Bayon didedikasikan bagi Buddha. Oleh karena itu, wajah Buddha raksasa terlihat di hampir seluruh sudut Bayon. Tepatnya, terdapat 216 wajah Buddha di seluruh kompleks Bayon, sebagian rusak dan hancur. Namun yang terukir di puncak-puncak kuil masih utuh.

Dari segi arsitektur, kuil tersebut sangat kontras dengan Angkor Wat yang lebih ramping dan cenderung feminin, Bayon merefleksikan maskulinitas.

Dibanding Bayon dan Angkor Wat, saya lebih banyak menghabiskan waktu di Ta Phrom, yang juga disebut “Kuil Hutan”.

Apa pasal? Ta Phrom tidak memiliki sistem parit secanggih Angkor Wat, karenanya, alam dengan mudah mengambil alih. Di antara batu-batu yang ditata rapi oleh manusia, alam menunjukkan kekuatannya. Akar-akar besar dan batang pohon, melibas, merangsek dan menembus batu, mencipta pemandangan spektakuler, dimana karsa dan karya manusia bersanding dengan kekuatan alam.

Kamboja

Berkeliling di Ta Phrom pun terasa lebih beraroma petualangan, karena bukan hanya dinding yang mengurung, melainkan hutan berusia ratusan tahun. Ada satu sudut yang sangat terkenal di Ta Phrom, yakni 'Pohon Angelina Jolie', di mana aktris tersebut menemukan bunga ajaib dalam film Tomb Raider yang mengambil lokasi syuting di Ta Phrom.

Berkeliling di antara batu tua yang menyimpan cerita dan menjadi saksi sejarah kehidupan manusia memicu saya untuk instropeksi. Namun, kedamaian sejati saya temukan di sebuah kuil tua di antara pemukiman kumuh di jalanan Siem Reap. Wat Bo, pagoda tertua di Kamboja yang dibangun di awal abad ke-19.

Kuil kuno ini nyaris kosong saat saya berkunjung, hanya ada seorang biksu tua sedang menyapu halaman dari daun-daun gugur. Kami tidak bertukar sapa, hanya senyum.

Dia menunjuk tanda untuk membuka alas kaki, sebelum membuka pintu dan jendela-jendela, menyalakan lilin dan dupa, serta mempersilakan saya duduk. Setelah itu, dia keluar tanpa suara. Membiarkan saya berada di dalam, sendirian, sibuk dengan pikiran dan segala hal yang berkecamuk di kepala.

Disitulah, diantara pagoda dan mandapa, pilar-pilar kuil, saya menemukan damai. Tanpa uraian panjang kata-kata bijak atau bahkan sentuhan. Hanya lewat senyum dan penerimaan tulus seorang biksu tua.



Terlelap di hangat pasir Boracay

Menemukan damai, saya memutuskan sudah saatnya berpindah destinasi. Tujuan selanjutnya adalah Filipina, negara kepulauan selayaknya Indonesia. Namun, soal wisata pantai, Filipina jauh lebih unggul dibanding Nusantara. Salah satu pantai yang banyak diburu wisatawan mancanegara adalah Boracay.

Disebut-sebut sebagai 'supermarket'-nya pantai, Boracay memang menawarkan segalanya. Dari hanya bersantai di pinggir pantai sembari menikmati lembut dan hangatnya pasir, serta birunya air laut, hingga segala macam olahraga air.

Menuju Boracay, Anda bisa transit di Manila atau langsung menuju dua bandara yang dekat dengan Boracay, Caticlan dan Kalibo. Akses paling dekat adalah Caticlan. Dari bandara, Anda hanya perlu berjalan selama 10 menit menuju dermaga guna menumpang kapal motor yang akan membawa Anda menyeberang ke pantai terkenal tersebut. Biayanya juga tidak mahal, hanya 100 peso atau sekitar Rp30 ribu.

Tapi hati-hati, banyak scammers yang akan menjebak Anda. Lebih baik Anda membawa seluruh barang bawaan sendiri atau jika repot, banyak porter yang bisa membantu dengan biaya murah, 20 peso (Rp6 ribu) saja.

Menuju penginapan, Anda bisa menggunakan angkot atau tuk tuk. Biayanya bervariasi dari 15 peso untuk lokal, hingga 100 peso untuk turis asing. Penginapan yang ditawarkan di Boracay pun bisa memuaskan semua kalangan. Bagi backpacker, ada banyak hostel dan motel dengan harga terjangkau. Sementara jika ingin akomodasi yang lebih mewah, hotel berbintang hingga apartemen eksklusif pun tersedia.

Di pinggir pantai, kafe, restoran dan bar berjajar. Masing-masing menawarkan hiburan berbeda, dari live stage show, hingga fire dancer. Menu makanan pun beragam, makanan lokal, Asia, Eropa, hingga Timur Tengah juga ada.  

Jika punya uang lebih, ada banyak olahraga air yang bisa Anda coba. Kayak, surfing, boat trip & island hopping, snorkeling, scuba diving, kite surfing, parasailing, skimboarding, bahkan memancing. Ada juga banana boat dan glass bottom boat trip.

Ada juga ekskursi ke Puncak Luho, puncak tertinggi di Boracay, di mana Anda bisa melihat pemandangan ke seluruh pulau.

Boracay

Tapi, jika bersantai adalah tujuan Anda, Boracay punya lebih dari cukup. Di sepanjang garis pantai yang berjarak empat kilometer, terdapat ratusan kursi pantai, lengkap dengan payung untuk Anda menikmati angin, matahari, pasir dan birunya air.

Seperti saya, yang dengan mudah terlelap dibuai angin di Boracay, sebuah tira nan indah di ujung barat Filipina.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya