Kampung di Puncak Gunung Api Purba Hanya Dihuni 7 Keluarga

Dusun Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, DIY.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Daru Waskita (Yogyakarta)
VIVA.co.id
Kumpulan Sentra Kuliner di Yogyakarta
- Satu kampung hanya diisi oleh tujuh keluarga (KK) dan berada di pulau Jawa itu mungkin hal yang mustahil. Namun satu kampung berisi tujuh kepala keluarga benar-benar ada dan kampung tersebut berada di Kabupaten Gunungkidul, DIY, tepatnya di Dusun Nglanggeran Wetan, Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk.

Festival Kuliner Dunia, Acara Terbesar di Jogja
Kampung yang terletak di atas puncak gunung api purba Nglanggeran tersebut hanya hanya berpenduduk tujuh kepala keluarga. Bagi masyarakat yang melanggar pantangan tersebut maka harus menanggung risiko kehilangan keluarga dalam kematian.

Pemalang Siap Tawarkan Desa Wisata Cikendung
Berkunjung ke Dusun Nglanggeran Wetan meski berada di puncak gunung api purba Nglanggeran tidaklah susah, karena akses jalan menuju puncak sudah diperkeras oleh Pemkab Gunungkidul, DIY.

Dengan sepeda motor ketika akan menuju kampung Nglanggeran Wetan, harus melewati jalan yang kanan-kirinya terdapat bebatuan besar yang diperkirakan berasal dari endapan lava gunung sejak masa purba.

Sesampainya di puncak gunung, cuaca yang cerah deretan pemandangan pegunungan-pegunungan yang berada di wilayah DIY dan Jawa Tengah dapat disaksikan langsung disana. Di puncak Gunung Nglanggeran, dapat ditemukan sekitar sembilan rumah di antaranya tersusun bergandeng. Jarak di antara rumah yang ada pun saling berjauhan. Tidak ada perbedaan dari kampung pada umumnya, rumah terbuat dari batu bata, dan ada listrik. Berbagai perabotan rumah tangga tersedia di dalam rumah.

Rejo Dimulyo sesepuh kampung setempat mengatakan sejak dari zaman buyutnya memang yang tinggal harus tujuh kepala keluarga, tidak boleh lebih, ataupun kurang.

"Kalau kurang ya ditambah, kelebihan ya dikurangi," katanya, Kamis 4 Juni 2015.

Rejo yang memiliki 16 anak, dan masih 10 anak yang hidup. Karena ada aturan tersebut, sembilan orang anaknya tinggal di bawah gunung, atau tempat lain di luar daerahnya tinggal. Dari anak-anaknya, hanya Surono bersama anak isterinya yang tetap tinggal bersama Rejo Dimulyo.

"Anak-anak saya yang sudah punya keluarga harus keluar dari kampung ini karena aturan mengharuskan tidak boleh lebih dari tujuh kepala keluarga," tuturnya.

Tujuh kepala keluarga yang tinggal di sana di antaranya Rejo Dimulyo, Warso Diyono, Hardi, Dalino, Seman, Kamiyo, dan Gito. Total jiwanya ada 20 orang. Semuanya memiliki rumah yang tersebar di antara perbukitan. 

"Tinggal di sini bisa menginduk asal KK-nya tujuh, dan rumahnya harus bergandengan," ucapnya. KK adalah singkatan dari kepala keluarga.

Surono, sebagai salah satu anak Rejo yang sudah lahir di zaman moderinasasi, percaya dengan aturan tersebut. Bahkan, dia yang memiliki dua orang anak pun kelak mesti harus menyiapkan anaknya tinggal di tempat lain. 

"Karena kepercayaan sudah turun temurun, kami tidak boleh melanggarnya," ucapnya.

Sebagai ketua RT, ia mengatakan, segala kegiatan masyarakat di dusun tersebut sama dengan wilayah lain, namun hanya diikuti oleh tujuh kepala keluarga. 

"Kalau rasulan (bersih desa) yang jatuh pada hari Minggu Legi, ya hanya kami bertujuh, tetapi ramai karena sanak saudara dari luar kota pasti datang," jelas dia. (ren)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya