Menguji Keaslian Kopi Luwak

Kopi Luwak Cikole
Sumber :
  • VIVAnews/Lesthia Kertopati

VIVA.co.id - Jika mendengar nama kopi luwak pasti yang ada di pikiran Anda adalah segelas kopi dengan harga yang mahal. Ya, harga untuk secangkir kopi luwak saja bisa mencapai Rp500 ribu.

Berkat Kopi Luwak, Wanita Ini Raih Penghargaan UNESCO

Padahal kopi luwak sama halnya dengan kopi hitam lainnya, namun beda rasa dan aroma. Alasan kopi ini mahal dan istimewa, karena proses menjadi kopinya yang unik. Kopi luwak adalah biji kopi yang ditemukan pada kotoran luwak (Paradoxurus hermaphroditus), sejenis hewan tupai yang banyak hidup di pinggir hutan dekat perkebunan kopi.

Salah seorang peneliti asal Indonesia yang melakukan riset di Jepang, Sastia Prama Putri mengatakan kualitas rasa kopi membuat kopi luwak menjadi begitu mahal untuk bisa dinikmati.
Hidangan Penutup dari Kopi Luwak, Harganya Rp12,2 Juta

"Rarity dan exclusivity yang menyebabkan harganya mahal," ucap wanita yang akrab disapa Sastia.
Sensasi Rasa dan Aroma Segar Kopi Luwak Candi Mendut

Menurut dia, di Jepang, warganya tidak banyak menikmati kopi luwak. Karena masih impor dari Indonesia, harga yang dipasang untuk membeli kopi luwak pun sangat mahal.

"Tidak banyak yang sudah mencoba. Hanya kalangan tertentu saja karena jarang ada dan mahal. Tapi kopi luwak punya cita rasa yang khas jadi fan loyalnya ada. Kopi luwak yang saya lihat di Jepang semua dari Indonesia yang saya tahu," ucap Sastia.

Lebih lanjut Sastia meyakini bahwa kopi luwak asli Indonesia mampu bersaing dengan kopi produksi negara lain di dunia.

"Kalau kopi luwak Indonesia bisa bersaing di world market itu sudah pasti.
Tapi untuk rasa dan preferensi market itu tergantung branding dari produk juga," ucapnya.

Kualitas mulai diragukan

Pakar kopi, Adi W Taroepratjeka, menanggapi soal menurunnya pamor kopi luwak saat ini. Katanya, kopi luwak sempat jadi tren lima tahun lalu, lalu perlahan-lahan mulai lesu peminatnya.

"Saat lima tahun yang lalu, memuncak sekitar tiga tahun yang lalu, dan makin lama makin memudar," ucap Adi.

Menurut dia, tidak sedikit konsumen yang mulai meragukan kualitas kopi luwak. "Luwak sempat booming gila-gilaan sehingga nilainya menurun drastis. Tidak hanya nilai moneter, tingkat kepercayaan terhadap produk menurun, terutama ketika orang mulai menternakkan luwak, dan sebagian menternakkannya secara tidak baik," katanya.

Hal itu kata Adi yang membuat banyak peneliti tertarik untuk meriset kopi luwak. "Karena harganya yang tinggi dan mitos yang ada di sekelilingnya. Soal enzim pencernaan yang bikin beda," ucap Adi.

Ia menuturkan, bisnis kopi luwak juga sempat tak mendapat respons baik di Eropa. Kopi Luwak Indonesia hanya berkutat di Jepang, Korea, dan sebagian negara Asia Tenggara.

"Negara-negara Asia seperti Korea. Negara barat antipati karena perlakuan penangkar luwak terhadap peliharaan mereka," ujarnya.

Menguji keaslian

Sementara itu sebagai peneliti, Sastia penasaran dengan keaslian kopi luwak yang sudah terlanjur mendunia tersebut. Dia pun kerap membaca artikel yang menulis soal keasilan kopi luwak, padahal tidak memiliki rasa dan aroma seperti umumnya kopi luwak aslinya.

"Saya penasaran dengan asli atau tidaknya kopi luwak yang ada dan beredar," kata wanita 33 tahun ini.

Lewat penelitian bertajuk Establishment of quality evaluation standard and authentication method of Kopi Luwak and various Indonesian specialty coffees by gas chromatoghraphy based metabolomics, Sastia mencari tahu keaslian salah satu produk unggulan Indonesia ini. Penelitian tersebut membutuhkan waktu yang tak sebentar.

"Saya meneliti kopi luwak ini memakan waktu lima tahun," ucap wanita yang dianugerahi penghargaan L'Oreal-UNESCO For Women in Science (FWIS) 2015 di bidang sains itu.

Bagi Sastia, keaslian dan kualitas kopi Luwak patut dijaga dan dilestarikan dengan metode yang selama lima tahun dia teliti. Dia juga mencari sampel kopi Luwak ke daerah Jember.

"Sampai pada akhirnya saya menyelesaikan tiga paper hampir empat tahun. Jadi saya menelitinya selama lima tahun. Kendalanya lebih kepada waktu karena kita harus memilih biji kopi terbaik yang adanya hanya setahun sekali. Selama dua kali panen kita dapat sampel dan disangrai baru dibawa ke Osaka," ujar Sastia.

Wanita kelahiran 8 Desember 1982 itu juga mendapat pujian dan apresiasi selama di Jepang. Dia bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, ITB dan Osaka University.

"Profesor saya di sana (Jepang) memang senang mengkaji mengenai pangan dan penelitian saya itu disambut baik oleh dia," ucap Sastia.

Tujuannya dalam penelitian itu, Sastia ingin mengetahui apakah kopi luwak yang beredar di kedai kopi baik dalam bentuk kiloan atau minuman teruji keasliannya.

"Jadi ada metode standar yang bisa digunakan industri kopi Indonesia untuk menentukan ini kopi luwak asli, palsu atau campuran. Menggunakan instrumen bernama gas chromatography mass spectrometry (GC/MS). Dengan pendekatan metabolomik," kata Sastia.

Lanjut Sastia, dia pun mengklasifikasi kopi yang dikonsumsi luwak atau tidak.

"Caranya dengan menganalisis komponen yang ada di kopi dan dilihat komponen apa yang berbeda antara kopi luwak (yang dicerna luwak) dan biji kopi yang tidak dicerna luwak. Ternyata setelah dicerna luwak memang komponennya berubah," ucap Sastia.

Kekhawatiran Sastia akan beredarnya kopi luwak palsu membuatnya serius menjalani penelitian tersebut.

"Komponen yang berbeda itu kita jadikan marker untuk penentuan keaslian kopi luwak. Inginnya dengan ada metode ini keaslian kopi luwak bisa terjaga. Oleh karena itu saya buat metode ini agar kualitas dan keaslian produk unggulan Indonesia bisa terjaga baik," ucapnya.

Sastia pun berharap BPOM atau lembaga yang berwenang bisa menggunakan metode ini untuk menguji keaslian kopi luwak.

"Saya berharap hasil dari riset ini bisa digunakan institusi terkait di Indonesia. Penelitian ini adalah menguji metodenya dengan sebanyak mungkin sampel kopi luwak Indonesia dan dilihat ketepatan metodenya. Hasilnya diharapkan dalam tahun ini. Setelah dapat hasil bisa diputuskan metode ini bisa digunakan sebagai standar atau tidak. Saya ingin agar instansi Indonesia yang menggunakan metode ini karena ini terkait produk asli Indonesia," kata Sastia. (ren)


Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya