Si Mungil Keranjingan Games

Ilustrasi video game.
Sumber :
  • Pixabay/Monikabaechler
VIVA.co.id
WHO Sebut Kecanduan Game Sebagai Penyakit Mental
- Gadis kecil itu berusia sekitar tiga tahun, tampak lucu mengenakan baju dungaree atau kodok warna merah muda, dengan rambut keriting yang digelung ke atas. Wajah manisnya terlihat serius tertuju pada layar tablet dalam genggaman, begitu juga jarinya yang bergerak lincah, menggabaikan keseruan film kartun di televisi yang berada tepat di hadapannya.

4 Permainan Seru Era 90-an yang Nggak Ada di Playstore

Saat saya seusianya dahulu, hal yang paling menghibur adalah film kartun atau Si Unyil yang tiap akhir pekan sudah pasti menjadi tontonan paling keren lantaran tayangan anak pada saat itu masih minim. Jika tak menonton televisi, main masak-masakan atau boneka bagi anak perempuan atau mobil-mobilan dan layangan bagi anak laki-laki tahun 1980-an sudah sangat menyenangkan.
Game DOTA 2 Menghasilkan Uang di Turnamen FirstBlod


Tapi itu dulu, sebelum teknologi secanggih saat ini. Kini dengan berkembangnya teknologi, membuat gadget dan game ikut berevolusi, sehingga membuatnya menjadi hiburan paling laris manis bagi generasi belia zaman sekarang.

Dan bukan hal mengejutkan jika banyak anak balita alias bawah lima tahun yang lebih cakap mengoperasikan smartphone atau telepon pintar dibanding orangtuanya, me-download game yang mereka suka, kemudian memainkannya. Dan tak jarang mereka memiliki tablet sendiri, khusus untuk main game.

Alasan orangtua mengizinkan anak main game sejak usia sangat dini adalah sebagai hiburan si buah hati atau sebenarnya ‘senjata’, jika tak ingin menyebut suap orangtua agar anak tak rewel. Ironi memang, tapi itu fakta.

"Kalau tidak diberi (tablet atau smartphone), Zahra sering merengek, marah dan nangisnya lama," kata Atika, ibu rumah tangga (IRT) di kawasan Lenteng Agung, Jakarta Selatan kepada VIVA.co.id.

Dia mengatakan, putri semata wayangnya yang saat ini berusia tiga tahun itu sudah doyan main game atau menonton YouTube di tablet dan smartphone sejak usia dua tahun. Itu karena ketularan ayahnya yang gemar main game online di smartphone miliknya.

"Awalnya Zahra hanya melihat ayahnya main, tapi lama-lama dia ikutan dan keterusan. Karena tidak ingin diganggu, ayahnya membelikan tablet khusus untuk Zahra main game sendiri," tuturnya.


Hal yang sama juga dialami Nurwati, ibunda anak laki-laki berusia lima tahun bernama Gibran. IRT ini juga mengaku putranya yang saat ini duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) B itu sudah main game sejak usia tiga tahun. Gibran sempat marah jika dilarang atau disuruh berhenti main game di smartphone atau tablet miliknya.


"Dulu suka marah kalau dilarang. Dia pasti akan bilang, 'Kemarin boleh, sekarang kenapa enggak boleh?" kata Nurwati kepada VIVA.co.id.

 

Zahra dan Gibran hanya contoh bocah cilik yang sudah suka main game, karena ada banyak anak lainnya di luar sana yang mengalami kondisi serupa atau mungkin lebih parah lagi sampai lupa makan dan melakukan aktivitas lain.


Orangtua Lalai


Mengenai banyak anak usia dini yang sudah gemar main game, Psikolog Ajeng Raviando mengatakan, karena game memang dibuat seru, asyik, dan menyenangkan, sehingga membuat anak tertarik. Namun itu terjadi karena kurangnya kontrol dari orangtua sejak dini.


"Ada faktor kelalaian untuk menerapkan aturan atau tata cara dalam penggunaan gadget, permainan, dan sebagainya. Jadi, bukan salah anaknya juga kalau dari awal orangtuanya memberi perangkat dan tidak memberi batasan waktu," kata dia kepada VIVA.co.id.


Menurutnya, orangtua wajib bertanggung jawab dan tidak sekadar menyalahkan anak. Dia mengatakan, banyak orangtua salah kaprah dan memanjakan anak dengan memberi izin main game sejak dini dengan alasan anak belum mengerti, padahal itu justru menjadi pemicu adiksi mereka terhadap game.


Dikhawatirkan pembiaran main game tanpa rambu dan aturan yang jelas dan tegas akan menyebabkan buah hati makin kecanduan. Dampak anak kecanduan game dari sisi psikologi, anak tidak bisa membedakan antara dunia virtual dengan dunia nyata, karena ketika anak merasa game sudah menjadi bagian hidup, mereka akan sulit memisahkan hal tersebut.


Apalagi ketika bermain game, anak menjadi merasa berkuasa, dominan, dan pintar, dia bisa menjadi lebih mencintai game daripada kehidupan nyata. Tanda lainnya, anak tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasa karena keasyikan main game.


Selain itu, anak menjadi temperamen atau marah ketika diminta untuk berhenti atau tidak main game. "Efek psikologisnya adalah emosi jadi sulit terkontrol, jadi temperamen karena keinginan untuk kembali ke game tersebut jadi lebih besar," ujar Ajeng. 


Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga Kementerian Pendidikan, Sukiman menambahkan, dampak yang ditimbulkan dari game sebenarnya tergantung jenis game atau tingkat kecanduan. Misal, jika anak main game yang mengandung unsur kekerasan, akan menimbulkan imajinasi tertentu yang kurang baik pada anak, sehingga bisa mempengaruhi kejiwaan hingga mengganggu mentalnya.


Sementara imbas negatif terhadap fisik adalah potensi obesitas, jika anak main game sambil ngemil dan kurang gerak. Namun, ada juga anak yang karena keasyikan main game jadi lupa makan, minum, istirahat, sehingga membuat kesehatan menjadi terganggu. "Dampak lain, sekolahnya, belajarnya juga menjadi terganggu," kata dia.


Kontrol Ketat


Jika anak sudah kecanduan akan sulit disembuhkan, bahkan perlu bantuan psikolog. Namun sebelum itu terjadi, ada baiknya, orangtua mengubah pola pendisiplinan anak.


Pengondisian dalam satu keluarga, menurut Ajeng sangat dibutuhkan. Misalnya, semua keluarga sepakat untuk tidak main game, sehingga anak berhenti. Jika sebelumnya boleh main tanpa batasan, maka harus ada batasan waktu.


Dan meski main game sebenarnya tidak memerlukan batasan usia, namun pengecualian untuk anak yang masih sangat kecil. Misal untuk usia dua tahun, dia berpendapat, tidak disarankan sudah main game, karena bisa membuat anak kecanduan.


Sementara porsi waktu main game bagi anak usia dua hingga lima tahun, saran Ajeng, maksimal satu jam. Sedangkan usia di atas lima tahun, maksimal dua jam.


Karena itu, dia menuturkan, perlu pendampingan orangtua untuk mengetahui jenis game yang dimainkan agar sesuai dengan tahapan usia dan kesukaan anak. Dan layak atau tidak game tersebut dimainkan, dengan memperhatikan unsur-unsur dalam game tersebut.


"Misalnya ada tokoh perempuan yang bajunya kurang pantas, atau nabrak-nabraknya terlalu berlebihan, atau ada kekerasan, itu yang harus diperhatikan oleh orangtua. Jadi pendampingan pemilihan game juga sangat menentukan," tuturnya.


Sukiman menambahkan, orangtua memang harus bisa meyakinkan anak untuk bermain game sesuai dengan porsi, dan tidak perlu melarang anak. Sebab, semakin dilarang, anak akan semakin penasaran dan malah main 'kucing-kucingan', misal ketika orangtua tidur atau main di luar rumah. 


Orangtua, kata dia, bisa mengajak anak diskusi secara logika dan memberikan penjelasan dan meyakinkan bahwa main game sampai lupa waktu bisa merugikan dirinya. Diharapkan anak bisa mengerem keinginannya main game.


"Jadi kembali lagi komunikasi positif. Pengasuhan positif jadi hal yang penting," kata dia.


Sukiman menyarankan, antara anak dan orangtua melakukan kesepakatan main game hanya pada akhir pekan, dan hari lainnya fokus untuk belajar. Orangtua juga bisa mengalihkan main game yang sifatnya soliter dengan melakukan aktivitas bersama yang menyenangkan, seperti main kejar-kejaran, petak umpet dan lainnya.


Sementara Nurwati mengaku bahwa dia bersama suami memang lebih disiplin kepada putranya sejak setahun terakhir, karena tidak mau buah hatinya kecanduan main game. Dari sebelumnya dia membebaskan waktu main game, Gibran sekarang hanya diizinkan main sekitar satu jam tiap harinya di tablet, sementara saat akhir pekan, dia bisa main game di PlayStation (PS), namun tetap didampingi.


Nurwati menuturkan, awalnya memang sulit mendisiplinkan putranya. Hal pertama yang dilakukan adalah menghapus semua game di smartphone, membatasi porsi main dan memantau semua game yang dimainkan, baik di tablet maupun PS.


"Sekarang Gibran sudah tahu dan bisa dibilangi, tahu waktu makan, mandi, belajar, tidur dan main di luar dengan teman-temannya. Kami juga masih mengontrol game yang dimainkannya," ujar dia.


Tak jauh beda dengannya, Atika juga mulai memantau anaknya main game dan sering menyembunyikan tablet putrinya. Dia pun mengalihkan keinginan anaknya main game dengan permainan yang lebih banyak membutuhkan aktivitas fisik, seperti masak-masakan, lego atau mengajaknya jalan-jalan.


“Saya suka menyembunyikan tablet atau bilang lowbat. Kadang, saya mengajaknya main yang banyak gerak atau jalan-jalan, sehingga dia lupa,” ujarnya.


Tak Melulu Negatif

Selain memberi pendampingan, kontrol dan batasan, Sukiman menuturkan, sebaiknya orangtua juga menambah wawasan mengenai dampak positif dari bermain game, karena game tidak melulu memberi dampak negatif.  Dengan demikian, masalah digital bukan menjadi musuh tapi teman yang bisa dimanfaatkan untuk mendukung pembelajaran dan perkembangan anak.


"Game itu ada unsur edukatifnya juga. Game-game yang dirancang untuk edukasi itu kental sekali nilai edukasinya," ucap dia.


Orangtua memang harus memahami bahwa game atau permainan merupakan naluri anak-anak. Mereka cenderung lebih senang bermain daripada belajar. Karena itu, orangtua bisa memanfaatkan game edukasi untuk membantu anak menyukai pelajaran.


Dan saat ini sudah mulai dikembangkan digital sebagai media belajar, di mana game dikemas dengan mainan yang edukatif, misalnya matematika. Selain itu, ada game untuk memecahkan masalah, sehingga dapat mengembangkan kecerdasan anak.


Ajeng sepakat bahwa orangtua bisa memilihkan game yang tidak hanya sifatnya permainan tapi juga game yang sifatnya edukasi. Dengan demikian, anak bisa belajar banyak dari game tersebut. "Jadi pemilihan game yang tepat pada anak jadi hal yang krusial," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya