Frederica, Produser Muda Pencetak Film Box Office

Produser Falcon Pictures, Frederica.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Maya Sofia

VIVA.co.id – Siang itu, sebuah rumah di kawasan Duren Tiga Raya ramai disambangi media. Seorang perempuan muda tampak mondar-mandir melayani wawancara para kuli tinta yang datang silih berganti. Sesekali senyum terurai di wajahnya kala menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan wartawan.

Dilan 1990 Diangkat Jadi Series, Open Casting untuk Pemain

Frederica, demikian nama perempuan tersebut. Dia merupakan salah satu ‘aktor’ penting di balik kesuksesan sejumlah film-film box office Tanah Air, seperti My Stupid Bosss, Comic 8, hingga Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1. Di tangannya, film-film ini berhasil membetot perhatian pencinta film di Indonesia.

Meski baru berusia 34 tahun, nama Frederica tak kalah mentereng dibandingkan produser top lainnya. Terbukti, ia mampu mengantongi penghargaan sebagai Produser Terbaik dalam acara penganugerahan Indonesia Box Office Movie Awards (IBOMA) 2016.

10 Film Indonesia Baru Siap Rilis, Lockdown sampai Buya Hamka

Prestasi perempuan yang akrab disapa Erica ini tak sampai di situ. Film yang diproduksinya di bawah production house atau rumah produksi Falcon Pictures, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 sukses mengukir sejarah. Film yang menampilkan Abimana Aryasatya, Vino Bastian, dan Tora Sudiro sebagai pemeran utamanya ini resmi menjadi film Indonesia nomor satu sepanjang masa.

Hanya dalam kurun waktu 25 hari, film yang disutradarai Anggy Umbara tersebut disaksikan 6.381.000 penonton. Sebuah capaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

Benyamin Biang Kerok 2, Menuntaskan Misi Mencari Harta Karun

Sosok Frederica pun kian diperhitungkan sebagai salah seorang produser andal di Indonesia. Namun begitu, ia tetap tampil sederhana. Hal ini terlihat saat VIVA.co.id berkesempatan mewawancarainya pada Selasa, 20 September 2016. Tak ada sapuan make-up tebal. Rambut panjangnya hanya ditata simpel. Ia pun dengan ramah menyapa para jurnalis.

Di hari itu, kepada VIVA.co.id, penyuka fotografi dan dekorasi rumah ini bercerita panjang lebar mengenai perjalanan kariernya sebagai seorang produser dan harapannya terhadap industri film Tanah Air. Berikut wawancara selengkapnya:

Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 berhasil mencetak box office. Apakah sesuai ekspektasi?

Kalau ditanya sudah kena ekspektasi atau belum, dari awal kita enggak pernah berekspektasi ini berapa jumlah penonton. Jadi berapa pun yang kami dapat, kami bersyukur karena kami melihatnya bahwa kami sudah melakukan yang terbaik dari diri kami masing-masing. Baik dari PH-nya dan aktornya. Jadi tinggal dilepasin ke masyarakat, diterima atau enggak. Bersyukurnya diterima.

Apa faktor yang membuat film Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 sukses?

Menurut saya ada tiga hal. Pertama, nama besar Warkop itu sendiri yang akhirnya kami berkeinginan reboot. Kedua, promosi yang masif di hampir semua kalangan masyarakat. Itu mulai dari sopir taksi, abang becak, restoran, mereka tahu semua. Orang-orang kantor juga. Ketiga, kami melihatnya bahwa nonton Warkop jadi tren di kalangan masyarakat sekarang. Jadi orang kayak enggak mau ketinggalan. ‘Jadi kalau elo enggak nonton Warkop, elo enggak trendi nih’. Itu yang saya lihat.

Seperti apa demografi penonton Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1?

Saya melihatnya ini kena ke semua kalangan. Kenapa? Karena mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak sampai anak kecil itu pada nonton dan anak kecilnya juga chicken dance. Ya luar biasa, jadi hiburan keluarga. Mereka nonton sama-sama ke bioskop.

Apakah dari awal sudah ada gambaran mengenai aktor yang akan memerankan Dono, Kasino, Indro dalam Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1?

Kita mungkin bilangnya bukan casting ya karena kita mengejarnya aktor-aktor kelas A. Kita approaching mereka satu per satu. Ada yang menolak, ada yang kepentok schedule. Akhirnya setelah kita menentukan kita mau yang mana, keluarlah nama itu.

Kalau Abi kebetulan kontraknya eksklusif di kita. Abi prioritas pertama sebagai Dono. Tidak pernah kita gantikan. Kasino sebenarnya kemarin ada beberapa option, semuanya kelas A. Akhirnya kita jatuh hati sama Vino. Kalau Tora ada beberapa nama juga. Tadinya Tora sempat mundur karena bentrok schedule. Setelah proses negosiasi, dia oke.  

Saya yakin aktor-aktor yang kita pilih ini punya beban tersendiri memerankan legend. Jadi mereka mengiyakan ke kita juga sebenarnya enggak sebentar. Vino mungkin baru dua bulan bisa bilang iya. Begitu juga dengan Tora.

Warkop DKI Reborn.

Selain Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1, beberapa film Falcon Pictures yang diproduksi sebelumnya banyak bergenre komedi. Apakah genre komedi memang sedang menjadi tren?

Ya kalau kita lihat sekarang memang benar. Trennya sekarang lagi komedi. Kemarin kita coba rilis drama tapi enggak begitu klik. Jadi kita memang melihatnya ke sana, eranya lagi era komedi. Tapi enggak tahu kalau satu tahun, dua tahun ke depan.

Sebetulnya Anda atau Falcon Pictures sendiri lebih identik dengan genre film apa?

Falcon kan bikin film enggak komedi saja, ada dramanya, thriller-nya, tapi kita belum pernah bikin film horor. Tapi mungkin karena visi perusahaan ya. Jadi memang kita enggak pernah mau bikin film pocong. Terus kan drama keluarga tentang gajah kita pernah bikin. Terus animasi. Jadi Falcon beragam genrenya. Kita enggak mau mengotak-ngotakkan, kita hanya khusus bikin genre ini saja. Enggak ke sana. Kayak Bumi Manusia kan bukan genre yang bisa dibilang komedi.

Apa pakem Falcon Pictures ketika memilih atau memproduseri sebuah film?

Dari premisnya. Kalau premisnya kuat, kita melihat ini di masyarakat diterima, kita mau produksi itu. Tetapi kalau terlalu generik, kita enggak jalani.

Tema seperti apa lebih dekat ke Falcon Pictures?

Sebenarnya kalau tema banyak, beragam. Jadi kita lihat adalah premis dari film itu sendiri. Bisa nyambung ke masyarakat atau enggak. Menjadikan viral atau enggak. Kalau enggak, kita pilih genre yang lain. Misalnya, Surat Kecil untuk Tuhan. Itu kan begitu banyak ratusan orang ribuan orang bisa bikin surat kepada Tuhan, memohon A, B, C, D. Kalau di luar negeri seperti Chicken Soup for the Soul. Seperti itu yang kita ingin garap.

Kayak Juki. Juki salah satu komik terbaik sekarang dan terlaris. Itu kita mau memproduksi. Rencananya kalau Juki kita mau rilis di Desember 2017. Misalnya contoh lagi Jaka Sembung. Itu kita mau produksi. Kenapa? Karena kita enggak ada superhero Indonesia yang berhasil. Panji Tengkorak kita juga mau produksi. Panji Tengkorak kan bagus filosofinya. Aslinya Panji ganteng banget dan  dia dengan bela dirinya dia memberantas kejahatan.

Hal-hal kayak gitu yang kita ingin bisa sampai ke masyarakat umum. Karena film itu kan media yang paling tinggi dari semua, televisi, radio, cetak, online. Film itu bisa menggugah orang untuk berbuat kebaikan, kembali ke masanya. Kita ingin bikin film kayak gitu.

Ada sebuah kalimat di situs web Falcon Pictures menyebut bahwa konten seharusnya tak hanya menghibur, tetapi juga mengandung unsur moral atau mengedukasi. Apakah itu prinsip yang dipegang oleh Falcon Pictures?

Kalau edukasi secara direct saya enggak tahu bisa atau enggak. Kadang-kadang kritikus selalu bilangnya terlalu menggurui. Waktu kita nonton Sang Pencerah, saking tergugahnya nonton, masjid dekat sini kita kasih makan setiap siang. Kita sumbang sekian tahun. Kita ingin ada salah satu film kita yang bisa menggugah orang seperti itu. Betapa bahagianya. Ibaratnya kita sebagai filmmaker, selain filmnya ditonton orang, ada impact buat orang itu sendiri.

Falcon Pictures sudah memproduksi banyak film sejak tahun 2010. Dari sekian banyak itu, film apa yang paling menantang atau paling terkendala?

Setiap film itu tingkat kesulitannya pasti ada, tapi memang berbeda-beda. Contoh Comic 8, Comic 8 itu kemarin kita keribetan karena ada action-nya, ada helikopter, ledakan. Terus Haji Backpaker itu di sembilan negara. Kita keribetan travelling, menyusun schedule, nyocokin, cari local production service yang bisa support kita, dari sisi permit dan lainnya.

Terus keterbatasan bahasa, yang setiap kali kita ngomong harus ada interpreter-nya dahulu. Kita lagi buru-buru tapi dianya enggak ngerti, itu kayaknya rasanya gregretan. Jadi banyak kondisinya. Kayak Negeri Van  Oranje, itu saya sebagai line producer sendiri di situ. Sebagai produser dan sebagai line producer. Semua dari A dan Z saya yang ngurusin.

Bagaimana pandangan Anda soal kondisi bahwa industri film Indonesia masih kekurangan aktor dan aktris baru karena saat ini masih didominasi oleh aktor atau aktris yang itu-itu saja?

Ini benar. Belum bentrok schedule-nya mereka. Satu syuting belum selesai sudah masuk syuting film lain. Atau film sudah selesai, mau promo enggak bisa karena sudah masuk film lain. Yang dirugikan siapa? Kan PH-nya. Biar bagaimana pun gagal dan suksesnya film itu kan end of the day kan PH, karena dia yang investasi, semua duitnya dari dia.

Mungkin kalau orang yang kurang bertanggung jawab ya lepas saja, ‘Gue sudah dibayar fee-nya, terserah’. Tapi kita selalu mengajak aktor-aktor atau aktris yang mau kerja sama sama kita dari awal sampai selesai. Selesai artinya bukan selesai syuting, tapi selesai promosi. Hanya ada beberapa, bisa dihitung sama jari aktor dan aktris yang profesional menurut saya.

Ada keinginan memunculkan aktor baru?

Ada, ingin banget. Kita enggak ada berhentinya untuk casting orang sebenarnya. Cuma memang benar, cari satu bibit mutiara tidak gampang.

Kendalanya?

Dengan mereka kirim video casting ke kita atau pada saat casting kemari kan belum tentu cocok sama perannya. Itu kita carinya A, tapi  ternyata karakter dia ke D. Atau mungkin juga tiba-tiba film kita berikutnya dia cocok karakternya, tapi pas schedule-nya enggak bisa. Jadi terkadang perlu chemistry juga.

Selama satu dekade terakhir, orang-orang semakin banyak berdatangan ke bioskop. Film Indonesia juga mulai bangkit. Apakah Anda melihatnya ini masih sebagai sebuah proses menuju puncak atau justru akan stagnan?

Semoga dengan kita selalu menciptakan rekor baru, semoga penonton Indonesia semakin lebar, semakin besar. Sebenarnya penonton Indonesia terbagi tiga. Pertama, adalah orang yang setiap kali nonton. Semua film apa saja ditonton, mau itu film horor, esek-esek. Ini yang mungkin bisa mencapai 100.000-200.000 penonton. Terus ada juga penonton yang cuma nontonnya setahun, itu dia pilih tiga atau empat film. Itu mungkin yang bisa tembus satu jutaan. Ada yang ketiga, mungkin dia nonton dua atau tiga tahun sekali. Nah Warkop dapat tiga-tiganya.

Dari awal memang menyasar yang tiga ini?

Ternyata pasarnya besar. Tapi tinggal filmmaker-nya expand seberapa besar. Contoh, kayak produk sampo mengeluarkan varian baru. Dia pasti akan marketingin produknya semasif mungkin, bilboard dimana-mana.

Sama, film juga begitu. Harus dijadikan sebuah produk.Bukannya film sudah selesai, tayang di bioskop, nanti pas filmnya enggak laku, salahin bioskopnya karena diturunin. Loh kan supply dan demand sebenarnya. Kalau misalnya enggak ada penonton, filmnya mau diputar terus? Secara businesswise, bioskop juga ada operational cost. Mana mungkin dia mau. Logikanya ke sana. Itu yang selama ini kami lihat.

Bagaimana hubungan antara rumah produksi dan bioskop selama ini?

Hubungan kami baik sekali dan mereka men-support setiap filmnya kita. Mungkin karena kami juga lagi box office.

Bagaimana respons Falcon Pictres jika harus merilis film berbarengan dengan film-film Hollywood, terutama yang bertema superhero?

Kalau kita melihat memang tanggal rilis Hollywood enggak bisa dihindari. Karena setiap kali kita hindari, maju kena, mundur kena. Ibaratnya begitu. Itu kita sudah lakukan di beberapa film. Jadi kadang-kadang kita suka ambil amannya.

Ada strategi khusus?

Pasti ada strateginya karena bagaimanapun juga kita enggak bisa lawan. Mereka terlalu besar untuk kita lawan seberapa besar effort nanti. Contoh Superman, kita enggak bisa brainwash anak kecil untuk tidak nonton Superman. Jadi enggak bisa melawan mereka. Jadi pintar-pintarnya kita untuk men-create biar filmnya kita ditonton.

Harapan Anda sebagai produser terhadap industri film Indonesia, apakah ada kebijakan pemerintah yang perlu diperbaiki?

Mungkin dari kita harapannya penambahan jumlah layar karena inginlah ya film bisa 1.000 layar. Bukan hanya cuma 100-200 layar. Itu pertama. Kedua adalah pembajakan. Ingin banget dari pemerintah, sama-sama menggalakkan, yuk kita berantas pembajakan. Bukan dari satu pihak saja karena enggak gampang.

Mengenai pembajakan, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 sempat dibajak beberapa waktu lalu lewat live streaming. Setelah kejadian tersebut, bagaimana pengawasan dari bioskop?

Semenjak (pelaku live streaming) kita aduin ke Polda, pihak bioskop sangat membantu. Mereka memperketat, mulai dari security, CCTV-nya. Jadi bagus ya, bersatu. Bukan hanya PH, bioskop juga menjaga.

Ada rencana kerja sama dengan rumah produksi ternama di luar negeri untuk memproduksi film dengan skala lebih besar?

Mau banget, enggak menutup kemungkinan itu. Kita selalu mencoba hal baru. Itu trademark-nya Falcon sebenarnya. Itu terbukti dengan pemilihan sutradara kita. Kita enggak takut sama sutradara baru. Anggy Umbara pertama kali di kita. Alyandra, Patrick Effendy. Kita enggak pernah takut karena kalau dilihat semua film kita, trademark Falcon kita jaga, enggak kita lepas. Setiap step-nya kita jaga.

Produser Falcon Pictures Frederica

Produser Falcon Pictures Frederica saat ditemui di kantornya, Selasa, 20 September 2016. FOTO: VIVA.co.id/Maya Sofia.

Awalnya, Frederica tak pernah berpikir menjadi seorang produser. Ia meniti kariernya dari bawah. Jatuh bangun ia rasakan. Bahkan sempat menerima pandangan miring.

Bagaimana Anda membagi waktu antara pekerjaan dengan kehidupan pribadi atau keluarga?

Mungkin karena saya belum menikah, jadi saya lebih fleksibel sebenarnya karena saya masih tinggal sama orangtua. Kalau secara komposisi 60 persen di pekerjaan, sisanya keluarga dan pribadi. Tapi cenderung ke pekerjaan karena orangtua saya sering ngomel-ngomel karena setiap kali weekend pasti kerja. Tapi ya mungkin karena kita enjoy, jadi kita jalani saja.

Dari awal memang sudah tertarik dengan dunia film?

Pendidikan saya itu public relation (PR) sebenarnya. Enggak nyambung. Awalnya saya di media agency. dari media agency saya pindah ke advertising agency. Dari situ ke televisi, pas ke televisi saya kerja sama dengan international company, kayak 21st Century Fox, mereka giant company.  Saya belajar banyak di sana. 

Usia Anda ketika itu?

Waktu itu mungkin 26-27 tahun. Saya bikin Fear Factor sama tiga negara, Malaysia dan India. Waktu itu biaya terlalu besar, jadi kita patungan tiga negara. Syutingnya di Malaysia. Pakai stunt director dari Afrika Selatan. Pokokknya profesional. Belajar banget di sana. Habis dari situ bikin 30 Seconds to Fame. Itu juga sama polanya, satu produser saja yang handle.

Bagaimana akhirnya Anda bisa berlabuh di Falcon Pictures?

Jadi waktu itu saya kerja di Bhakti, grupnya MNC. Pak Naveen keluar dari Bhakti, bangun Falcon. Saya keluar juga, ikutan dan masuk sini. Jadi memang dari awal Falcon berdiri saya sudah join.

Jadi saya dan Pak Naveen bisa dibilang hampir 15 tahun. Mungkin karena saya loyal sama orang. Saya tahu berterima kasih, saya tahu orang yang sudah memberikan saya kesempatan luar biasa, saya harus membalas dengan kerja keras saya. Jangan sampai orang itu kecewa.

Dahulu, pertama kali kerja saya cuma administrasi  yang kayak nge-fax, nge-print. Pertama kali kerja  seperti itu karena waktu itu saya part time sama kuliah. Kuliahnya malam, jadi pagi sampai sore saya ke kantor. 

Juga bukan dilahirin dari keluarga kaya raya. Apalagi waktu itu tahun 1998, zaman-zamannya krismon. Jadi saya mau kuliah saja pinjam duit sama bos. Nah, bos saya dahulu itu orang India. Saya dahulu kerja di tukang kain di Pasar Baru, dibayari sama dia, nyicil. Dari situ berhenti, beberapa bulan kerja, berhenti, sampai akhirnya ketemu sama Pak Naveen.

Prosesnya karena saya dari bawah, saya mengerti cara bikin iklan bagaimana, televisi bagaimana, sampai akhirnya masuk film. Tapi memang waktu pertama kali masuk film saya dikerjain. Kayak new kids on the block. Dikerjain sempat waktu awal produksi. Tapi kan semua itu proses pembelajaran menurut saya. Kalau saya enggak jatuh bangun mungkin enggak bisa sampai di sini juga.

Sebagai produser perempuan, apakah ada pandangan miring dari staf pria ketika itu?

Ada, kayak gitu ada. Saya mah, lepasin saja. Saya cuma merasa, ‘Gue punya kerjaan yang gue kelarin.  Terserah elo mau ngomong apa’. Karena bukan hanya perempuan, mereka juga melihat saya lebih muda dari mereka. Itu enggak gampang. Saya melihatnya bahwa ini suatu tantangan buat saya dan saya menghormati mereka yang lebih tua dari saya.

Apakah pandangan miring itu masih ada sampai sekarang?

Sekarang enggak. Mungkin dibarengi eksistensi Falcon. Mereka jauh lebih respek. Tapi awal-awal, seperti itu. Awal-awal sempat minder, kok begini. Tapi aku merasanya harus survive, harus jalanin.

Dengan keberhasilan yang sudah diraih, termasuk Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 yang menjadi film Indonesia terlaris sepanjang masa, apakah Anda melihatnya sebagai sebuah capaian tertinggi?

Pastinya. Saya cuma kadang-kadang berpikir Tuhan cinta sama saya banget sampai dikasih kesempatan begini. Kita cuma minta guide dari yang di Atas. Harus ajarin kita tetap rendah hati, kerja keras, jangan berasa di awang-awang, sudah sukses. Mungkin ada rintangan di depan. Pohon semakin tinggi, semakin kencang anginnya.

Ada tips untuk produser muda?

Jangan pantang menyerah karena kesuksesan itu tidak gampang. Biar bagaimana pun juga selalu lakukan kebaikan dan kebaikan akan datang sama kamu. Itu yang terkadang selalu jadi pemikiran saya. Kalau orang jahat, jangan dijahatin lagi.

Apakah ada ambisi atau rencana ke depan?

Saya enggak pernah ada ambisi dalam hidup. Saya selalu ngejalanin yang setiap saya jalanin itu saya ingin yang terbaik dari diri saya. Karena kenapa? No turn back time. Saya enggak bisa kembali lagi ke masa itu. Saya enggak bisa bilang, ‘Sorry kemarin begini'. Jadi itu kadang-kadang yang selalu aku tanamin.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya