Pandji Pragiwaksono

Stand Up Comedian Sampai Tua

Pandji Pragiwaksono
Sumber :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa

VIVA.co.id – “Saya dilahirkan untuk menjadi stand up comedian,” ujar Pandji Pragiwaksono mantap. Berkunjung ke kantor VIVA.co.id pada 5 Desember 2016 lalu, pria berusia 37 tahun bercerita panjang lebar mengenai profesinya saat ini.

Pekerja Seni: Aturan Tembakau di RPP Kesehatan Harus Dikaji Ulang

Hari itu, ia mengaku agak sedikit batuk. Namun raut wajahnya tetap memperlihatkan rasa antusias saat membicarakan tentang stand up comedy. Sesekali, ia melontarkan humor segar yang menggelitik.  

Nama Pandji di dunia stand up comedy memang kian berkibar. Ia bahkan baru saja menorehkan prestasi sebagai stand up comedian Indonesia pertama yang melakukan tur keliling dunia atau world tour.

Perjalanan Karier Babe Cabita dari Juara SUCI 3 hingga Bisnis Kuliner

Mengusung tajuk Juru Bicara Stand Up Comedy World Tour, pria lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB tersebut tampil di 24 kota di lima benua. Semuanya dilakukan dalam waktu kurang dari satu tahun.

Berikut wawancara selengkapnya Pandji Pragiwaksono dengan jurnalis VIVA.co.id Bimo Aria.

Profil Babe Cabita, Meninggal Dunia karena Anemia Aplastik di Uisa 34 Tahun

Bisa diceritakan bagaimana perjalanan ke 24 kota lima benua?

Jadi Juru Bicara Stand Up Comedy World Tour ini di 24 kota lima benua. Kemarin sudah ke 23 kota (kota ke 24 di Jakarta 10 Desember lalu-red). Dua kota di China, lima kota di Jerman, Afrika, terus sudah ke enam kota di Amerika Serikat (AS). Sudah ke Inggris satu kota, Jepang satu kota, Australia dua kota.

Judul world tour tahun ini Juru Bicara. Apa sebenarnya arti atau makna dari Juru Bicara ini?

Juru Bicara Stand Up Comedy World Tour adalah pertunjukan stand up comedy yang topiknya justru datang dari orang. Dari keresahan orang yang dititipkan ke saya. Kayak misalnya saya bertemu dengan aktivis Kamisan, yang setiap hari Kamis depan Istana. Ketemu sama saya, korban-korban HAM, “Ini kami setiap kali aksi sudah tidak diliput media, orang enggak pada tahu. Pandji kan kalau sekarang banyak yang menonton. Tolong bahas dong”. 

Saat ketemu dengan teman-teman konservasi alam, mereka bilang, “Ini juga isu-isu alam kayak pembakaran hutan liar, satwa yang rumahnya hancur. Ini juga enggak diketahui masyarakat. Pandji kan kalau stand up banyak yang menonton. Bahas dong”. Begitu terus. 

Dari isu-isu gede begitu sampai kepada teman-teman yang menonton televisi, terus dia bilang, “Ini televisi tayangannya kok begini banget ya. Kenapa ya. Bahas dong di stand up lo”. Jadi kenapa jatuhnya jadi Juru Bicara karena topik-topik ini adalah keresahan orang yang diungkapkan ke saya. Jadi posisinya Pandji jadi juru bicara bagi mereka.

Apakah ada tantangan atau kesulitan karena ini artinya bukan dari pengalaman Anda sendiri?

Tantangan utamanya pertama, setelah terkumpul keresahannya enggak ada yang lucu sama sekali. Topik-topik itu asli enggak ada yang lucu sama sekali. Ngomongin rating, ngomongin soal entrepreneurship, HAM, konservasi alam, radikalisme, censorship, pemblokiran situs, pendidikan. 
Topiknya itu sebenarnya enggak ada yang lucu.

Komedian kan melihat sesuatu yang lucu, dibawa ke panggung. Kesulitan utamanya adalah mengolah yang serius ini menjadi lucu. Terutama ketika topiknya sudah mulai berat kayak HAM, konservasi alam. 

Jadi waktu itu saya benar-benar ke kantor Kontras. Meeting sama mereka. Mereka melempar isu, saya catat. Kemudian saya bahas di pertunjukan. Mungkin memang kesulitannya di situ karena memang lebih ke isu yang berat bagaimana caranya biar jadi lucu. Tragedi Trisakti juga dibahas. Itu kan sebenarnya topiknya enggak ada lucu-lucunya.

Apa materi atau tema yang paling sulit?

Yang paling berat memang isu-isu HAM. Berat karena banyak orang di Indonesia ternyata enggak tahu banyak isu HAM di Indonesia. Kedua, sebenarnya kasus yang saya bahas itu sedih kalau dipikir-pikir. Nah itu membuatnya agak rumit, tetapi saya bawakan ke setiap kota. Apalagi tanggal 10 Desember Hari HAM sedunia. Jadi kayaknya cocok saja membahas soal HAM di hari HAM sedunia. 

Apakah ada ketakutan karena materi-materi yang sensitif tersebut jadi bahan lelucon?

Enggak. Kalau ketakutan itu enggak ada karena saya percaya niatnya baik. Niatnya bukan menertawakan korban atau menertawakan seseorang atau sesuatu. Niatnya adalah  ini ada isu penting, saya ingin kamu dengerin. Jadi insya Allah enggak ada. Sejauh ini enggak ada perlawanan atau ketidaksukaan dari sisi penonton. 

Dari tur kemarin, kota mana yang paling menarik?

Saya kalau ditanya yang paling menarik, selalu jawab Afrika Selatan, Pretoria, karena pertama-tama enggak kebayang bisa ke Afrika. Apalagi ke Afrika untuk ngelawak. Itu enggak pernah kebayang. Tapi waktu itu kami ngotot ke Afrika. Nah akhirnya kejadian. Kerja samanya sama KBRI. KBRI bilang  begini, “Kalau mau stand up di Afrika, orang Indonesia itu di sini ketemu satu kali dalam setahun, Hari Lebaran. Jadi kalau mau stand up harus Lebaran mas.” 

Saya bilang, “Ya sudah kita berangkat”. Orang Indonesia ngumpul di Pretoria, KBRI, di rumah Pak Dubes maksudnya. Itu Johannesburg datang, Cape Town datang, dari Madagaskar datang. Semuanya kumpul di satu tempat dan itu cuma 100-an ternyata orang Indonesianya. Tapi menyenangkan manggung di situ karena panggungnya outdoor, Pak Dubes juga senang banget. 

Waktu itu kami juga sempat jalan-jalan, safari, ke beberapa museum dan dingin banget. Saya baru tahu Afrika Selatan itu subtropis kayak Australia. Musim dinginnya di Juni. Jadi pas kami lagi salat Ied, itu nol derajat celsius. Bayangkan salat Ied pakai coat segala macam. Tapi akhirnya jadi pengalaman yang sangat berkesan. 

Penontonnya semua orang Indonesia?

Mayoritas orang Indonesia, tapi hampir di setiap kota selalu ada orang lokal yang menonton. Jadi makanya saya selalu bilang pertunjukan ini untuk siapa pun yang bisa Bahasa Indonesia. Kayak di Jepang, ada orang Jepang menonton. Di Amerika juga, Australia juga. Justru menyenangkan kita melihat ada orang-orang setempat menonton karena dia bisa Bahasa Indonesia. Itu salah satu kebahagiaan saya dan mereka ketawa juga.

Apa materi yang dibawakan di Afrika?

Sama. Setiap kota materinya selalu sama. Kayak musisi kalau lagi tur, set list-nya sama. Sama di Afrika juga yang dibawain topiknya sama. Isu yang dibahas di Juru Bicara World Tour itu isu yang dirasakan semua orang. Kayak HAM, dirasakan semua orang. Radikalisme dirasakan di semua negara. Isu konservasi alam dialami semua negara. Bahkan rating dan censorship juga dirasakan di semua negara. Makanya dibawakan di seluruh dunia, orang bisa merasakan, “Oh saya merasakan keresahan yang sama”. Radikalisme sih terutama.

Dari semua rangkaian world tour ini, apa sebetulnya harapan dan tujuan Anda?

Inginnya dua hal. Satu, orang menjadi ingat bahwa di Indonesia ini ada banyak isu yang harus kita sadari , banyak masalah yang harus diketahui, baru diselesaikan. Kedua, supaya orang sadar bahwa sebenarnya dia bisa jadi juru bicara bagi orang lain juga. Bahwa kalau misalkan ada temannya pengguna kursi roda yang selalu kesulitan ketika mencoba mobile di Jakarta, mungkin dia bisa jadi juru bicaranya. Kita tuh selalu bisa menggunakan mulut kita, bahkan socmed kita untuk mewakili orang-orang lain di sekitar kita. 

Anda dikenal sebagai aktor, penyiar, presenter televisi, dan sekarang stand up comedian. Ada sendiri mendefinisikan Pandji sebagai apa?

Pandji itu orang yang berkarya, cuma banyak jatuhnya. Ada karyanya stand up, rap, ada karyanya dalam buku, film. Jadi ada banyak ekspresi yang ingin keluar, tinggal cari format yang tepat saja. Ini cocoknya di musik rap, ini cocoknya di buku, ini cocoknya di stand up

Tapi Anda ingin lebih dikenal sebagai apa?

Yang saya pegang sampai hari tua kemungkinan besar adalah stand up comedian karena kalau melihat stand up comedian lain, terutama di luar negeri biasanya makin tua makin tajam. Makin berani karena makin banyak hal yang mereka tahu. Makin banyak hal yang bisa mereka omongin. Jadi kemungkinan besar saya jadi stand up comedian sampai tua.

Kenapa Anda mau menggeluti serius stand up comedian sampai tua?

Karena sebenarnya saya percaya saya dilahirkan memang untuk jadi stand up comedian karena saya senang membuat orang ketawa dan saya senang ngomong. Dari dahulu, bahkan sebelum tahun stand up saya berpikir, “Gue ini hidup untuk jadi apa? Kok yang secara nyata kelihatan gue suka ngomong dan bikin orang ketawa”. 

Makanya waktu ketemu stand up pertama kali kepala kayak mau pecah. Ini dia nih, saya seharusnya menjadi seperti ini dan ternyata kelihatan ketika digeluti, dibandingkan dengan semua karya-karya lain, memang yang paling progresif, paling kelihatan hasilnya, paling maju stand up comedy. Rapper saya baru bisa tur Jawa Bali, tapi sebagai stand up comedian saya sudah world tour dua kali. Jadi ini yang saya akan pegang terus.

Berikutnya: Pertama kali Pandji mengenal stand up comedy...

Dari mana Anda pertama kali tahu mengenai stand up comedy?

Ini agak-agak memalukan. Saya kuliah di Bandung, di ITB. Anak Bandung, apalagi anak kuliahan itu harusnya tahu sebuah daerah namanya Kota Kembang. Kota Kembang itu pasar, tapi jual DVD bajakan.

Nah, di situ dahulu beli sepuluh gratis satu. Jadi saya datang ke sana beli sepuluh, terus saya bingung gratis satunya apa. Terus ada satu DVD Robin Williams lagi Broadway. Saya tahu Robin Williams, saya suka film-filmnya. Tapi ini depannya itu cuma dia di atas panggung. Jadi saya penasaran, ini ngapain sih. Saya beli, pas saya tonton di situ saya shock. Oh ini nih dan dia lucu banget di situ. 

Tapi waktu itu belum berani jadi stand up comedian karena di televisi belum pernah ada. Sampai waktu saya sudah mulai kerja di Hardrock FM Jakarta, saya buka YouTube, lihat YouTube-nya Chris Rock bawain materi stand up comedy dari pertunjukannya dia namanya Never Scared. Nah lihat Chris Rock baru saya memberanikan diri, “Sudahlah gue ingin jadi stand up comedian. Gue pengen jadi kayak dia.” Akhirnya saya memberanikan diri untuk stand up

Ada pengalaman menarik waktu awal-awal membawakan stand up comedy?

Sebenarnya pengalaman menariknya ada terus. Biasanya ada hubungannya dengan kejadian saya stand up, tapi enggak lucu. Sebagai seorang pelawak, risikonya ketika dia naik panggung kan cuma dua. Pilihannya cuma penonton ketawa atau enggak. Nah ketika enggak itu, enggak enak banget. Apalagi kita sendirian. 

Kalau grup, satu orang enggak lucu, yang lain lucu atau yang lain bisa pura-pura ketawa. Tapi kalau kita sendirian di panggung, enggak ada yang menyelamatkan kita.  Jadi kalau di-hire 30 menit, ya 30 menit itu sampai selesai. Biasanya tenggorokan kering, berkeringat. 

Nah salah satu pengalaman paling pahit waktu itu stand up di Sabuga. Sebenarnya Cuma lima menit, tapi live. Selama lima menit itu enggak lucu. Kalau enggak lucu mah kan pada diam, enggak ada yang ketawa. Ini disuruh turun. Disuruh ganti sama dangdut. Waduh sakit hati. Lagi stand up “Dangdut saja, dangdut.” Saya sudah hampir ‘buka baju’ nih sebenarnya. Cuma akhirnya diselesain. Itu lima menit terlama dalam hidup saya. 

Siapa sosok stand up comedian yang jadi acuan Anda?

Kalau di luar negeri itu Chris Rock, Louis CK, Dave Chappelle, Jerry Seinfeld, Bill Cosby. Kalau di Indonesia saya suka Adriano Colbi, Acok, Rindra. 

Kenapa? Apakah karena tema-temanya atau cara mereka membawakan stand up comedy di atas panggung?

Kalau di luar negeri lebih ke kemampuan mereka mengolah topik. Kayak Chris Rock  dan Louis CK itu paling jago mengolah topik sensitif untuk menjadi joke. Ketika orang  menonton, jadi tercerahkan. Itu yang saya suka. Kalau di Indonesia, Adriano dan Rindra, Acok, saya suka karena saya enggak pernah bisa jadi kaya mereka. Melihat mereka stand up, “Gue enggak bisa jadi kayak mereka.” Makanya gue mengagumi mereka. Dari sisi teknik, pemilihan topik. Mereka secara kualitas gila.

Sudah berapa tahun Anda menggeluti profesi stand up comedian?

Enam tahun. Pertama kali April 2010 sampai dengan hari ini.

Sejauh ini tema-tema apa yang disukai, di Indonesia khususnya?

Sebenarnya orang Indonesia senangnya topik secara umum itu kayak relationship. Sejauh pengalaman saya ketika joke-nya berhubungan dengan relationship juga paling mudah menarik orang ketawa.

Di luar itu sebenarnya nih, orang Indonesia juga senang joke-joke yang saru. Cuma bagaimana caranya kita mengangkat, karena begini joke saru adalah orang kaget karena enggak menyangka ada orang ngomong begini di atas panggung. Cuma pertanyaannya, bagaimana caranya ketika itu naik ke atas panggung tetap ada kelasnya.

Jika di luar lebih temanya yang lebih disukai soal kritik, sementara di Indonesia temanya justru lebih ke relationship atau saru. Kalau Anda melihatnya seperti apa?

Stand up comedian itu bagaimanapun kayak kesenian lain. Kayak musik lah. Pelakunya akan ngomongin sesuatu yang ada di sekitar dia. Kayak di musik, yang Afgan nyanyikan beda dengan yang Efek Rumah Kaca nyanyikan karena lingkungan mereka, pergaulan mereka beda. Sama stand up comedian juga begitu. Kenapa Pandji ngomongin isu soal politik, Raditya Dika lebih ke relationship karena lingkungan dan pergaulan beda.

Kalau saya suka nongkrong di tempat alay-alay, pasti materinya alay juga. Cuma kalau saya sering nongkrongnya sama aktivis, relawan, orang-orang LSM sering ketemu, menteri bahkan sering ketemu, politisi. Jatuhnya topiknya kayak begitu. Sebetulnya sah-sah saja. Di televisi lebih banyak ngomongin relationship dan sehari-hari karena di televisi lebih banyak stand up comedian remaja masuk televisi. Di dunia musik juga begitu, pop lebih banyak massanya. Tapi tidak berarti Efek Rumah Kaca atau Seringai enggak punya massa.

Bisa dijelaskan proses kreatif Anda ketika membuat materi sampai membawakannya di atas panggung?

Biasanya dimulai dari kepikiran sesuatu. Misalnya lagi baca Twitter lihat berita, saya pikir ini bisa jadi bahan yang bagus. Kemudian saya catat topiknya di handphone. Nah notepad yang ada di handphone itu isinya premis semuanya, topik. Nanti ketika saya mau bikin pertunjukan, saya pindahkan ke Microsoft Word dan saya tulis. Saya tulis kayak saya lagi manggung. Benar-benar kata per kata. Sudah selesai, saya lihat ini kepanjangan, buang kalimat ini. Biar lebih compact, efisien. Baru setelah itu saya hapalin untuk saya bawakan di open mind.

Untuk tur ini selama enam bulan saya tulis, itu saya open mind ke Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, keliling. Ke Depok bahkan, Bintaro. Bekasi. Nyobain materi ini. Ketika dicobain kadang-kadang enggak lucu. Menurut orang enggak lucu, menurut kita lucu. Kita mesti meraba nih, joke-nya enggak lucu atau cara menulisnya salah. Coba direvisi cara nulisnya. Coba diksinya diganti, cara nulisnya diganti, coba lagi. Terus saja sampai ketemu materi sejam lebih. Itu yang terjadi sama saya dari November 2015 sampai April 2016. Enam bulan menulis materi stand up untuk kemudian dibawain dari April sampai hari ini.

Pandji Pragiwaksono

Pandji Pragiwaksono saat berkunjung ke kantor VIVA.co.id, 5 Desember 2016. Foto: VIVA.co.id/Wafa

Biasanya ide-ide itu datangnya dari mana atau saat apa?

Random ya. Kadang- kadang dengan cerita orang, menonton YouTube. Lebih sering sih ngobrol sama orang makanya datang keresahan-keresahan orang itu. Tapi umumnya random. Saya random, tergantung situasi yang lagi datang ke saya.

Apa bedanya manggung di Indonesia dengan di luar negeri?

Di luar negeri ada jet lag-nya, itu yang pasti. Saya ingat waktu ke Jerman lima kota. Dua kota itu berturut-turut, siang sampai Hannover malam langsung manggung. Besok subuhnya pindah naik kereta ke Leipzig, malam langsung manggung. Besoknya subuhnya berangkat naik bus ke Berlin, langsung manggung. Jadi kami jet lag. Itu sulitnya.

Di luar itu, justru sebenarnya dari sisi penonton sama saja. Mungkin hal menarik yang saya temukan, ternyata orang Indonesia di Jerman, di Balikpapan, Afrika Selatan, Makassar ternyata sama-sama tertawa dengan joke yang sama. Membuktikan bahwa lebih banyak persamaan yang di antara kita yang mempersatukan ketimbang perbedaan. 

Kalau melihat perkembangan stand up comedy sekarang, apa komentar Anda?

Luar biasa. Terus terang televisi membantu penetrasi ke market-market baru. Jadi ada banyak stand up comedian muda. Banyak orang bilang stand up comedian sekarang materinya receh-receh, itu yang di televisi. Kalau elo mau cari yang berat-berat enggak di televisi.

Tapi pertumbuhannya luar biasa. Bayangkan waktu kami mulai tahun 2011, enggak ada komunitas stand up. Sekarang komunitas stand up sudah lebih dari 100, dari Aceh sampai Papua. Yang terbaru Jayapura. Jadi pertumbuhannya luar biasa masif. Kalau kita lihat film-film sekarang, isinya stand up comedian semua. Baik yang menulis, menyutradarai, maupun yang main.

Kalau secara kualitas materi?

Juga beragam dan bertumbuh. Beragam karena tadi banyak stand up comedian baru di televisi, kayak Arafah itu contoh stand up comedian zaman sekarang yang materinya absurd saja gitu. Orang-orang usia saya, menonton Arafah bingung, “Apaan sih”. Tapi anak-anak di usia Arafah, anak kuliahan itu senang banget sama Arafah. Sebaliknya materi saya untuk anak-anak seusia Arafah membingungkan. “Apa sih maksudnya.” 

Kegiatan Anda belakangan ini juga menjadi salah satu juru bicara pasangan calon kepala daerah. Apakah Anda serius ke dunia politik?

Pertama tur dunia kasih salah satu wawasan. Ketika keliling dunia, saya melihat kota-kota lain dan kembali ke kota saya sendiri jadi ada keinginan yang besar untuk memperjuangkan kotanya lebih bagus. Pilkada adalah cara paling tepat untuk memastikan arah pembangunan kotanya sesuai dengan yang kita inginkan.

Jadi kalau kita inginnya kayak begini pilih si A. Ingin kayak begitu, pilih si B, dan seterusnya. Dan dari yang saya lihat, saya merasa masa Anies orang yang tepat memimpin Jakarta.

Sejak kapan tertarik dengan politik?

Awalnya juga stand up. Awalnya dari politik luar negeri, politik Amerika. Gara-gara nonton video stand up saya jadi tertarik dengan politik amerika. Lalu saya buka-buka YouTube.  Lalu ada sebuah acara namanya The Daily Show with Jon Stewart, itu acara komedi politik. Konsepnya saya ada adaptasi untuk bikin Provocative Proactive di sebuah stasiun televisi. Jadi kayak sekolah politik singkat. Di situ saya sadar, enggak mungkin kita enggak peduli politik. Enggak suka, oke. Tapi enggak mungkin orang bilang enggak peduli politik karena keputusan politik hubungannya ke dia langsung. 

Ketertarikan jadi politisi?

Ada. Tapi saya sudah berdamai dengan diri saya sendiri. Peran terdalam saya di politik ya jadi jubir. Berpolitik butuh dua, passion dan kompetensi. Passion terhadap gagasan besar di Indonesia, kompetensi terhadap bidang. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya