Cara Sehat Berargumentasi dengan Anak Remaja

Ibu dan anak perempuan.
Sumber :
  • pixabay/Twnynina

VIVA.co.id – Remaja biasanya selalu memiliki argumentasi yang tinggi. Ini dikarenakan keingintahuan mereka yang sangat tinggi. Seringkali argumentasi yang mereka lontarkan juga bisa menyakiti hati orangtua dan tak jarang membuat orangtua kehabisan cara untuk menghadapinya.

Nikita Mirzani Nilai Kelakuan Lolly Semakin Memperburuk Keadaan

Menurut psikolog remaja Elizabeth Santosa, memang menjadi emosi atau  terbawa perasaan adalah suatu yang normal dan tidak bisa dikontrol. Karenanya, ketika berargumen dengan anak yang sudah beranjak remaja boleh saja mengekspresikan emosi.

"Jangan terlalu mengontrol emosi agar anak juga melihat kalau kita ekspresif sehingga mereka juga bisa ekspresif," ujar Elizabeth saat ditemui beberapa waktu lalu.

Lolly Ngaku Bakal Berkarier di Indonesia, Ingin Buat Nikita Mirzani Bangga

Meski demikian, jika setiap argumen dengan anak hanya berakhir dengan saling memahami emosi masing-masing, kata Elizabeth, itu tidak menyelesaikan masalah. Argumen pasti akan terus terjadi lagi ketika emosi sudah sama-sama mereda di waktu lain dan tidak pernah mencapai titik temu.

Misalnya, ketika anak berargumen harus memiliki A, namun orangtua menginginkan B. Karena tidak ingin kalah dengan argumentasi anak, lalu orangtua mengeluarkan kata otoriter "pokoknya". Itu artinya Anda sudah kalah.

Ada Apa dengan Lolly? Ungkapan Capek dan Keinginan Hidup Tenang Jadi Sorotan

"Kalau orangtua mau dihargai, lawan dengan logika. Tantang terus argumentasi anak dengan pertanyaan logika hingga akhirnya dia "skakmat". Walaupun ada rasa marah tapi mereka tetap masih terima," kata Elizabeth.

Perlahan-lahan seiring waktu akhirnya dia bisa sepenuhnya menerima. Karena, pelan-pelan informasi masuk ke kepalanya. Tapi, selama dia belum merasa puas dan logis, maka dia akan terus mencari cara sampai ada solusi logis.

Elizabeth menambahkan, mengasuh anak zaman sekarang tidak bisa hanya mengandalkan komunikasi saja. Karena, sekarang orangtua juga harus pintar karena anak-anak lebih banyak mengandalkan Google dan Wikipedia.

Jangan sampai, sebagai sosok pemimpin dan panutan tapi tidak memiliki pengetahuan.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya