Kisah Miris di Balik Fesyen Bermerek

Sneakers Yeezy
Sumber :
  • yeezy boots Instagram

VIVA.co.id – Pernahkah Anda berpikir dari mana pakaian, atau item fesyen Anda berasal? Sejumlah fesyen dengan merek ternama, ternyata memiliki kisah miris dalam pembuatannya.

Berburu Barang Preloved Harga Miring di Mini Irress

Tak jarang, item fesyen dengan label ternama, justru dibuat oleh pekerja dengan upah sangat minim dan jam kerja berlebih.

Dikutip dari Huffington Post, label fesyen cepat seperti H & M, Nordstrom, GAP, dan Forever 21 diduga bergantung pada pekerja dengan upah sangat rendah.

Fesyen Bekas Merek Ini Diminati Masyarakat Indonesia

Upah para pekerja hanya sekitar Rp53 ribu per jam untuk membuat pakaian, demi memenuhi permintaan konsumen. Sebagian besar label fesyen cepat tidak mampu bersikap etis.

Tak hanya label fesyen tersebut, G-III Apparel Group, yang merupakan mitra manufaktur merek ternama, seperti Calvin Klein, Donna Karan, dan Karl Lagerfeld, serta Ivanka Trump memproduksi pakaian di sebuah pabrik di China, dengan upah rendah dan jam kerja berlebihan.
 
Dilansir dari People, Fair Labor Association yang melakukan inspeksi ke pabrik tersebut menemukan bahwa pabrik itu melanggar aturan Organisasi Buruh Internasional. Para pekerja menghabiskan waktu selama 60 jam dalam sepekan dengan upah sekitar Rp825 ribu per minggu.

Amerika Serikat Kecam Pemilu Rusia, Pernyataan Seram Ini Keluar dari Gedung Putih

Pekerja juga tidak menerima tunjangan pensiun, kesehatan, atau perumahan yang diwajibkan secara hukum, dan hanya menerima cuti dibayar lima hari per tahun, dengan beberapa pengecualian.

Sebelumnya, sepatu laris hasil kolaborasi Kanye West dan Adidas, sneakers Yeezy dengan harga Rp2,5 juta, ternyata dibuat oleh pabrik di Guangdong, China, dengan pekerja yang dibayar lebih murah dari sepatu tersebut, hanya Rp2,4 juta per bulan.

Dikutip dari Mirror, dengan tambahan jam kerja 20 jam selama sepekan, enam hari bekerja dengan 10 jam sehari, buruh bisa mendapatkan bayaran Rp5,47 juta. Namun, angka ini masih di bawah upah rata-rata di kota-kota di China sebesar Rp11,88 juta.

Salah seorang buruh, Fang Lee mengaku harus berdiri selama 10 jam setiap hari. "Saya terlalu lelah berdiri dalam waktu yang lama tanpa istirahat," katanya.

Ibu dua anak ini mengatakan, harus tiba pukul 07.15 di pabrik, atau lebih awal 15 menit dari waktu kerjanya. Jika telat, buruh akan dipecat.

Dia mengaku upah dasarnya sangat rendah, sehingga harus bekerja lembur untuk menyewa kamar dengan tarif Rp665 ribu sebulan dan biaya makan. Bahkan, jika dia bekerja lembur hingga 80 jam setiap bulan, tidak banyak uang yang tersisa. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya