Survei: Wartawan dan Karyawan Periklanan Kekurangan Liburan

Ilustrasi liburan/foto Instagramable.
Sumber :
  • Pexels/Adam Kontor

VIVA – Menurut sebuah survei global baru. Penduduk kota, terutama wartawan dan eksekutif di bidang periklanan, termasuk di antara pekerja yang paling kekurangan liburan di dunia. 

Dokter Indonesia Dapat Kesempatan Berkarier di Korea

Dalam laporan Expedia berjudul Vacation Deprivation 2017, para periset mengidentifikasi 30 ribu orang dewasa yang bekerja di 30 negara mengenai keseimbangan kehidupan pekerjaan. Dalam skala global, sebanyak 66 persen orang yang bekerja di bidang pemasaran dan media merasa paling kekurangan untuk liburan.

Hasilnya juga menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di kota besar sangat sulit untuk menyeimbangkan waktu antara bekerja dan bermain dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tinggal di daerah pinggiran kota dan pedesaan.

Yayasan Sativa Nusantara Resmi Serahkan Policy Brief Ganja Medis

Menurut survei tersebut, tiga wilayah perkotaan yang paling sulit berlibur di dunia adalah Seoul (Korea Selatan), Mumbai (India), dan Paris (Prancis). Yang terakhir ini, merupakan temuan menarik, karena Prancis masuk ke dalam salah satu negara dengan hari libur tertinggi di dunia. Pekerja Prancis berhak mendapatkan liburan minimum selama 25 hari dalam setahun.

Dikutip dari laman star2, Jumat 15 Desember 2017, di Amerika Serikat, sebagian besar industri yang kekurangan liburan adalah real estate, diikuti oleh pekerja di bidang makanan dan minuman, serta pelayan kesehatan. Orang Amerika yang bekerja di Pantai Barat AS juga merasa lebih kekurangan untuk berlibur dibandingkan dengan wilayah lain di Amerika Serikat. 

AS dan China Rebutan Lapak di Bulan

Secara keseluruhan, perasaan kurang tidur meningkat di seluruh dunia tahun ini, naik 53 persen dari 49 persen tahun lalu. Bahkan, hampir setengah, atau 48 persen responden di seluruh dunia mengatakan bahwa mereka harus membatalkan atau menunda libur karena bekerja.

Laporan tersebut juga mengungkapkan beberapa perbedaan budaya antara orang Barat dan Asia, ketika membahas seputar kesehatan mental di tempat kerja. Orang Barat percaya bahwa karyawan yang mengambil cuti untuk melepaskan stres kerja dianggap sebagai cuti sakit, bukan mengambil waktu liburan.

Tapi di Asia, responden merasa sebaliknya, dengan 80 persen pekerja Taiwan, misalnya, melihat karyawan yang mengambil cuti untuk melepas stres kerja sebagai waktu liburan.

"Penekanan pada kesehatan mental di Amerika Serikat dan bagian lain dunia diharapkan akan mendorong lebih banyak orang untuk melihat cuti sebagai hak, bukan kemewahan, dan menikmati efek positif dari liburan," tulis periset.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya