SOROT 533

Pilpres 2019 di Bawah Bayangan Politik Identitas

Ilustrasi Politik 2018
Sumber :
  • VIVA/Tim Desain

VIVA – Akhirnya, tahun politik itu tiba. Persaingan berebut kekuasaan yang sudah dirasakan sepanjang 2018 akan mencapai puncaknya pada 2019 ini.

Pemilu 2024 Lebih Teduh Dibanding 2019

Pemilihan Presiden yang akan digelar bersamaan dengan Pemilihan Legislatif pada Rabu, 17 April 2019, hanya berjarak empat bulan dari sekarang. Siapa yang muncul sebagai pemenang di antara dua pasangan calon yang tengah berkompetisi, apakah sang petahana, Joko Widodo-Maruf Amin, ataukah si penantang, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, akan segera diketahui.

Dari sengitnya pertarungan politik antarpendukung masing-masing capres-cawapres itu, ada satu hal yang masih terasa cukup kental sampai saat ini yaitu nuansa politik identitas. Situasi tersebut sebenarnya tidak hanya muncul hari-hari ini saja. Tapi sudah mulai muncul saat Pilkada DKI Jakarta, dua tahun lalu.

AROPI: Dibanding Musim Pemilu 2019, Tingkat Kepercayaan Terhadap Lembaga Survei Naik 7,6%

Publik bisa melihat, bagaimana gerakan Bela Islam 212 yang dahulu berhasil mengirim Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta, masuk ke penjara dalam kasus penistaan agama, dan sukses membuatnya kalah di pilkada tidak hilang begitu saja sampai hari ini. Kelompok tersebut justru terus mengonsolidasikan diri dengan membuat kegiatan-kegiatan bertajuk reuni.

ILC tvOne Pasca Reuni 212: Menakar Elektabilitas Capres 2019

Paguyuban Marga Tionghoa Dorong Gunakan Hak Pilih 14 Februari untuk Lahirkan Pemimpin Berkualitas

Tak hanya gerakan 212, polemik mengenai soal yang berbau agama lainnya juga muncul. Misalnya, muncul usulan dari La Nyalla Mattalitti, mantan pendukung Prabowo yang pindah mendukung Jokowi, agar Prabowo dan Jokowi diadu sebagai imam salat. Dari sanalah bisa diketahui, siapa yang lebih Islami.

Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan, kontestasi antara dua pasangan capres–cawapres di tahun 2019 ini akan semakin sengit. Menurutnya, Januari merupakan titik awal kedua paslon untuk berkampanye dengan lebih serius.

"Waktu hanya tinggal empat bulan lagi. Jadi mereka akan tancap gas kampanye di Januari, dan itu tentu akan semakin memanaskan situasi yang memang sudah panas," kata Ujang saat dihubungi VIVA, belum lama ini.

Namun, dia mengingatkan kedua paslon tetap memiliki kewajiban moral untuk melakukan kampanye damai. Tidak saling serang dan tidak mengompor-ngompori situasi. Terkait apakah SARA dan politik identitas akan mewarnai Pilpres dan Pileg 2019, Ujang memprediksi kemungkinan akan muncul lagi. Bahkan bisa saja dihembuskan semakin kencang untuk saling menjatuhkan.

"Politik identitas sepertinya masih akan mewarnai kampanye ke depan. Tidak boleh tetapi tetap menjadi isu seksi," ujarnya menambahkan.

Ujang menilai, proses kampanye capres–cawapres saat ini masih belum mencerahkan dan mencerdaskan. Masih diisi oleh narasi saling serang dan nyinyir. Oleh karena itu, dia berharap ke depan kampanye harus lebih kreatif, inovatif, dan substantif sehingga masyarakat mendapat pendidikan politik yang baik.

Pengamat Politik dari Universitas Padjajaran, Idil Akbar, juga tidak memungkiri bahwa politik identitas tak bisa hilang begitu saja dan akan tetap ada. Namun, bagaimana kualitas kampanye, bergantung pada sejauh mana masing-masing kubu menjual pasangannya, apakah pendekatan yang programatik atau tidak.

Selain itu, dia memprediksi persaingan akan eskalatif (meningkat). Semua timses akan benar-benar menggerakkan roda timsesnya memacu lebih giat, intensif, untuk menarik suara masyarakat Indonesia. "Pertarungan akan lebih memanas, lebih asyik," kata dia saat dihubungi VIVA.

Untuk situasi kampanye saat ini, Idil menilai kedua kubu hanya memanasi mesin, tidak kampanye terprogram, atau memberikan solusi terhadap masalah bangsa. Tapi proses yang biasa saja. Dia sepakat kampanye-kampanye yang terprogram, yang mengandung solusi atas masalah bangsa akan terlihat pada Januari nanti.

"Saya prediksi Januari akan betul-betul terlihat tiap calon mulai arahkan pada program-program yang mereka susun, terus problem identitas dan istilah-istilah kayak sontoloyo dan sebagainya hanya di tingkat bawah. Itu dinamika. Substansinya akan lebih mengemuka 3 bulan ke depan." 

Kesiapan KPU

Bicara mengenai Pilpres juga Pileg 2019, tentu saja tidak bisa dilepaskan dari peran Komisi Pemilihan Pemilu. Apalagi, masalah pemilu tidak cuma urusan pertarungan dua kubu yang berkompetisi. 

Penyelenggaraan pemilu tahun ini juga berkaitan dengan masalah teknis seperti Daftar Pemilih Tetap, logistik yang antara lain adalah masalah kotak suara, e-KTP yang tercecer, sampai pada bencana alam yang terus terjadi di tanah air dan tentu saja bisa menjadi ancaman tersendiri. 

Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, bahwa adanya bencana alam cukup menghambat persiapan mereka. Misalnya saja, tiga kabupaten/kota yaitu Palu, Donggala, dan Sigi, terpaksa belum bisa melakukan pembaruan data menyangkut pemilih. Daerah-daerah tersebut pun meminta kepada institusinya untuk melakukan pemutakhiran pada bulan Januari.

Alasannya, karena mereka perlu menunggu situasi tenang agar kegiatan administrasi di wilayah itu bisa berfungsi secara normal kembali. Untuk sekarang ini, warga di sana masih sibuk mengurus proses recovery, baik diri mereka sendiri, rumah, juga fasilitas-fasilitas lainnya.

"Bisa marah-marah nanti kalau ditanya soal itu (pemutakhiran data pemilih). Jadi kami bisa memahami itu. Nanti kemungkinan kami mulai bulan Januari," katanya kepada VIVA.

Rekapitulasi DPTHP-2 KPU.Rekapitulasi DPTHP di KPU

Meski demikian Arief menuturkan, KPU sudah menetapkan daftar pemilih beberapa waktu yang lalu. Oleh karena itu, mereka akan menjadikan data itu sebagai pegangan sementara. "Bukan berarti di daerah nggak ada data pemilihnya, cuma ada data itu belum diupdate karena situasi bencana itu," ujarnya.

Untuk masalah distribusi logistik, Arief tidak melihat adanya hambatan berarti. Sejauh ini, distribusi kotak suara dan bilik suara sudah berjalan baik. Dia menegaskan proses tersebut akan terus berjalan. Apalagi, mereka masih memiliki cukup banyak waktu. Namun, bila persoalannya adalah adanya kekhawatiran mengenai kotak suara yang berbahan karton, Arief kembali menekankan logistik kedap air itu sudah digunakan sejak Pilkada 2015.

"Jadi sudah 3 kali pemilu, 2015, 2017, 2018. Kita sudah pakai itu," katanya. menegaskan.

Arief mengakui, KPU memang ingin pemilu ini murah. Murah bagi siapapun, murah bagi KPU, murah bagi peserta pemilu. Makanya, mereka sengaja mendesain logistik-logistik untuk kegiatan pemilu itu berbiaya murah. Misalnya kampanye. Dia menyampaikan sebagian besar kampanye yang membutuhkan uang banyak dibiayai oleh negara, melalui anggaran KPU.

"Iklan di media cetak elektronik, pembuatan baliho-baliho spanduk, itu kan dibiayai oleh negara. Jadi pemilu ini sebenarnya desainnya itu sudah mengarah ke efektif, efisien, hemat baik bagi penyelenggara maupun bagi peserta pemilu," ujarnya.

Terkait dengan munculnya kasus e-KTP yang tercecer, KPU tidak terlalu concern ke sana. Sebab, tugas mereka hanya mendata pemilih yang sudah terdaftar sebagai pemilik KTP elektronik. Masalah hilang, dicuri, digandakan, itu menjadi ranah Kemendagri.

"KPU kan mendata tentu dengan setelah dilakukan pemeriksaan. KPU kan juga diberi akses ke data penduduk yang dari Dukcapil. Jadi setiap data yang masuk ke kami itu kami croscek ke sana," ujarnya.

Namun demikian, dia mengakui jika mau baik itu semua harus mendukung termasuk masyarakat. Tak boleh mencuri-curi begitu. "Jangan ngurus yang ilegal-ilegal gitu. Jadi semua harus mendukung. Ada KPU, ada Kemendagri, ada Bawaslu, termasuk ada pemilih. Jangan gunakan lagi yang nggak bener-bener gitu," katanya.

Mengenai banyak e-KTP yang belum jadi, Arief mengatakan di dalam draf pemutakhiran daftar pemilih itu, KPU menyebutkan Suket (surat keterangan). Jadi, mereka yang belum punya KTP elektronik, tapi sepanjang sudah melakukan perekaman, memiliki statusnya sama.

"Hanya yang satu sudah menerima fisik KTP-el, yang satu menerimanya dalam bentuk suket," katanya.

Ilustrasi eKTP.

Terpisah, Komisioner Komisi Pemilihan Umum, Viryan Azis menyatakan, pencoretan data pemilih akan dilakukan terhadap korban bencana yang meninggal dunia. Dari informasi yang dia terima, para korban tersebut tidak hanya di satu daerah tapi beberapa daerah seperti Banten, Lampung, Jakarta, juga Jateng.

Viryan menyebut, KPU juga sudah berkoordinasi dengan instansi-instansi terkait menyangkut masalah ini. Tapi dia belum tahu berapa yang nantinya bakal dicoret karena data terus berubah. Namun, KPU Pusat sendiri sudah menginstruksikan kepada KPU Lampung dan KPU Banten untuk melakukan tiga hal. Pertama, identifikasi terkait jajaran penyelenggara pemilu yang terdampak dari bencana. Kedua, melakukan identifikasi mandiri soal korban dari bencana. Dan ketiga, koordinasi dengan pihak terkait yang melakukan kegiatan itu.

"Jadi tiga hal ini sebenarnya sudah ada laporannya yang masuk. Laporan jumlah tapi masih update. Laporannya terkait tiga hal itu," kata Viryan.

Debat Capres-Cawapres

Awal tahun 2019 juga akan langsung diwarnai dengan debat capres-cawapres. Dalam hal ini, KPU sudah menyusun jadwalnya. Ada lima kali debat yaitu debat capres-cawapres, debat capres, debat cawapres, debat capres, dan debat capres-cawapres.

Debat pertama akan dilaksanakan pada 17 Januari 2019 di Hotel Bidakara dengan tema hukum, HAM, korupsi dan terorisme. Kedua, 17 Februari 2019 di Hotel Sultan, dengan tema energi dan pangan, sumber daya alam, lingkungan hidup, dan infrastuktur. Lalu ketiga, 17 Maret 2019 di Hotel Sultan, dengan tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan serta sosial dan kebudayaan.

Kemudian keempat, 30 Maret 2019, tempat belum ditentukan, dengan tema ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan serta hubungan internasional. Dan kelima, alias terakhir, tanggal dan tempat belum ditentukan, bertema ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan, investasi, perdagangan dan industri.

KPU konferensi pers soal debat pasangan calon presiden dan wakil presiden.
KPU menggelar rapat terkait debat capres cawapres

Namun, sebelum debat dimulai, KPU akan menyediakan ruang bagi kedua tim pasangan capres-cawapres untuk menyosialisasikan visi dan misi pada 9 Januari 2018. Lalu kemudian ada panelis yang bertanya dan mengkritisinya. Tujuannya agar masyarakat lebih tahu tentang visi misi masing-masing paslon sehingga begitu debat dilaksanakan, publik sudah tahu, dapat referensi yang lebih komprehensif. Alasannya karena kalau dalam forum debat, sangat terbatas waktunya untuk menjawab.

"Total waktu debat 90 menit. Kalau itu dibagi dua, masing-masing punya kesempatan hanya 45 menit. Jadi sangat singkat," kata Arief.

Dalam sesi itu, masing-masing tim pasangan calon rencananya akan diberi waktu dua jam untuk menyampaikan visi dan misi. Pada awalnya semua setuju. Tapi kemudian ada perbedaan teknis misalnya apakah yang menyampaikan itu tim paslon, atau paslonnya langsung. Karena itu, sampai saat ini masalah tersebut belum mereka putuskan secara resmi.

Terlepas dari baiknya persiapan KPU dalam menyelenggarakan Pemilu 2019, mereka tetap diminta melakukan evaluasi, tidak anti kritik karena kritik dari masyarakat adalah agar mereka melakukan perbaikan. DPT juga dipandang sebagai hal yang krusial karena itu harus tuntas. Begitu pula terkait kotak suara dari kardus yang harus bisa dipertanggungjawabkan. (mus)

Baca Juga

Selamat Datang 2019

Rasa Fermentasi dan Gelora Fesyen Jadul 

Perang Dagang di Tahun Politik

IoT dan AI yang Makin Memanjakan

Mobil ‘Setrum’ Kian Menyengat

Sasaran Tembak Bernama PSSI

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya