SOROT 483

Masih Didera Keluhan

Sorot BPJS - pelayanan rumah sakit
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Idhad Zakaria

VIVA – Hari masih pagi. Jam di tangan masih menunjuk angka lima. Namun, ratusan orang sudah tampak berdiri memanjang di lantai satu Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cengkareng.

Informal Workers Receive Social Security Assistance from Radjak Hospital Salemba

Warga Jakarta ini sengaja berjejal memenuhi lobi utama rumah sakit yang terletak di di kawasan Jalan Gunung Pangrango, Cengkareng, Jakarta Barat ini guna mengambil nomor antrean untuk periksa kesehatan di rumah sakit tersebut menggunakan fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Tak terkecuali Parman (64). Pria paruh baya ini langsung masuk barisan, usai memarkir kendaraan roda duanya. Ia bergegas guna bisa mendapatkan ‘nomor cantik’ agar istrinya, Dasimah (62) tak perlu menunggu lama dan segera ditangani dokter.

Tinjau RSUD Sibuhuan, Jokowi Pastikan Pelayanan Kesehatan Optimal

"Kita sengaja tadi berangkat dari rumah gelap-gelap, tetap saja udah banyak yang antre jam segitu. Kita berangkat habis subuh dari rumah saja dapat nomor 82, apalagi kalau datang siang-siang," kata Parman kepada VIVA di RSUD Cengkareng, Jakarta Barat, Kamis 11 Januari 2018.

[Baca juga: Inggris dan Kuba yang Perkasa]

Angka Kasus Penyakit Ginjal Makin Meningkat, Sedot Dana BPJS Hingga Rp2,9 T

Parman mengakui, bahwa tak mudah berobat menggunakan BPJS, penuh perjuangan. Meski demikian, rutinitas berobat itu terpaksa ia jalani karena istrinya mengidap penyakit jantung. 

"Alhamdulillah, istri saya itu tiga tahun ini berobat gratis. Kan sakit jantung, kemarin (pasang) kateter juga, operasi pasang ring dua, sekarang ini berobat jalan tiap bulan rutin. Alhamdulillah semuanya gratis. Yang penting sabar antrenya saja," ujarnya seraya tersenyum.

Lihat infografik: Kesehatan Dalam Angka]

Sorot BPJS - layanan BPJS - loket BPJS

Petugas melayani warga di kantor pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Cabang Utama Palembang, Sumatra Selatan, Selasa (18/7). (ANTARA FOTO/Feny Selly)

Panjang dan Berliku

Lutfi (33) Warga Cipinang, Jakarta Timur juga mengalami hal yang sama. Saat mengantar suaminya yang syarafnya kejepit untuk periksa, ia harus berjibaku dengan waktu. Tak hanya itu, ia juga harus melalui proses yang panjang.

"Kami dapat rujukan untuk menjalani MRI di RS Omni. Itu prosesnya panjang, antrenya berkali-kali sampai bertahap beberapa hari. Kami diminta ke Puskesmas dulu untuk minta surat rujukan, baru ke Omni," ujarnya kepada VIVA, Jumat 12 Januari 2018.

Di RS Omni prosesnya juga tak mudah. Sama seperti Parman, ia dan suaminya yang sedang sakit sudah antre sejak pagi. Dan ia baru mendapat giliran, setelah menunggu selama sembilan jam. Dan harus antre lagi sekitar tiga jam di apotek untuk mengambil obat. “Padahal pelayanan dokternya nggak ada 20 menit," ujarnya.

Aktivitas antre itu ia jalani selama tiga hari sebelum akhirnya mendapat rujukan untuk tes MRI. Dan setelah tiba waktunya untuk tes MRI, pihak rumah sakit mengatakan alatnya rusak. "Katanya alatnya rusak. Padahal udah antre lama sekali," ujarnya sambil menghela napas.

Sorot BPJS - pelayanan rumah sakit

Sejumlah pasien menjalani operasi mata katarak saat Bakti Sosial Operasi Mata Katarak gratis di Rumah Sakit Islam (RSI) Sunan Kudus, Kudus, Jawa Tengah, Sabtu (22/7). (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

Pasien pemegang BPJS memang harus ekstra sabar jika hendak berobat ke rumah sakit. Pasalnya, mereka mesti mengikuti prosedur yang panjang dan melelahkan. Mulai dari antre ambil nomor, kemudian menyerahkan surat rujukan dan kembali mengambil nomor antrean yang berbeda di loket yang lain. Baru kemudian melanjutkan antrean ke poli yang diinginkan. Tak cukup di situ. Mereka juga harus antre lagi di apotek untuk mengambil obat.

Alurnya yang panjang dan penuh perjuangan ini membuat sebagian orang enggan menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan. Arini (28) salah satunya. Ia memilih tidak menggunakan fasilitas BPJS miliknya. "Bedanya jauh. Diskriminasi banget, kalau pakai asuransi swasta atau tak pakai asuransi itu malah cepat. Enggak perlu datang pagi-pagi, terlihat banget perbedaannya," ujarnya kepada VIVA.

Diskriminasi

Arini mengungkapkan, selain alasan harus antre, diskriminasi pasien BPJS juga ada pada jenis obat yang diberikan. "Obat yang dari BPJS itu obat generik. Kalau yang asuransi swasta biasanya dapat obat paten. Terus juga ada beberapa obat yang enggak dicover BPJS jadi harus kita beli," ujarnya menambahkan.

Tak hanya itu. Sejumlah peserta BPJS mengaku ada yang ditolak rumah sakit saat hendak berobat. Khofifah (39) salah satunya. Warga Senen, Jakarta Pusat yang menjadi peserta BPJS ini harus menelan pil pahit karena ditolak rumah sakit. "Waktu itu dari klinik disuruh rawat. Tetapi katanya alasannya penuh dan kita diberikan rujukan ke rumah sakit yang lokasinya jauh di Koja," ujarnya mengenang.

"Padahal saya sudah rajin membayar Rp25.000 per bulan, Akhirnya saya pindah rumah sakit dan enggak pakai BPJS," ujarnya menambahkan.

Sorot BPJS - layanan BPJS - loket BPJS

Seorang peserta BPJS Kesehatan bergegas keluar dari ruangan unit  Penanganan Pengaduan di Kantor BPJS Kesehatan Wilayah Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu. (21/6). (ANTARA FOTO/Darwin Fatir)

Direktur RSUD Cengkareng Dr. Sugiono membantah tudingan miring tersebut. Menurut dia, tak semua rumah sakit Mitra BPJS memperlakukan pasien secara buruk dan diskriminatif. "Pada prinsipnya semua rumah sakit itu tidak ada yang menolak pasien. Itu terjadi karena masyarakat sekarang, sakit sedikit saja mereka datang ke rumah sakit," ujarnya kepada VIVA, Jumat 12 Januari 2108.

Sugiono menjelaskan, dengan adanya BPJS, masyarakat jadi terbuka untuk menggunakan fasilitas itu di rumah sakit dan pelayanan kesehatan lain seperti Puskesmas. Hal itu menyebabkan penumpukan pasien di suatu daerah. Menurut data, pasien BPJS yang datang mencapai seribu orang perhari. “Kalau perhari itu 1000 pasien dikalikan 30 hari dalam sebulan, berarti sekitar 30 ribu berkas yang harus mereka periksa. Jadi menurut saya kalau pun delay-delay sedikit wajar lah," ujarnya membela diri.

Di sisi lain, membeludaknya jumlah pasien itu tidak dibarengi dengan penambahan fasilitas. "Volumenya juga yang kita pertimbangkan. Pemerintah tidak bisa menambah, kita tidak bisa menambah kapasitas perawatan. Sementara jumlah orang yang sakit itu banyak sekali, sementara kapasitas lahan kita terbatas," ujarnya. 

Selain penumpukan pasien, masalah lainnya adalah soal komunikasi. "Komunikasi antara pasien, rumah sakit, dan pihak BPJS atau tripartit juga tidak singkron. Kadang pasien yang langsung kita tangani ternyata penyakitnya tidak masuk atau tidak dicover oleh BPJS."

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menambahkan, setiap hari jumlah pasien yang dilayani di rumah sakit sekitar 500 ribu orang atau 500 ribu pelayanan. “Sampai semester I tahun 2017 itu kita melayani 400 juta lebih orang. Kalau kita bicara mikro, di RSCM itu kita melayani pasien rawat jalan itu 54 ribu orang perbulan, belum lagi pasien rawat inapnya sekitar 3000 per bulan. Itu semua dilayani,” ujarnya kepada VIVA, Jumat 12Januari 2018.

“Kalau dari 54 ribu ada satu atau dua orang terdengar ada yang tidak dilayani, ini kita cek betul apa masalahnya pada saat itu,” ujarnya menambahkan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan, diskriminasi pasien BPJS benar terjadi di beberapa rumah sakit. "Ya memang ada diskriminasi. Ini riil terjadi secara kasat mata. Kalau pasien umum bisa langsung ditangani. Namun kalau pasien JKN harus menanti berdasarkan urutan yang bisa terjadi berhari hari atau bahkan berbulan bulan," ujarnya kepada VIVA.

Berdasarkan kasus yang diterima BPJS Watch, jenis kasus atau keluhan yang terjadi merupakan pengulangan dari tahun sebelumnya.  Di awal tahun 2014 ketika mulai beroperasinya BPJS Kesehatan, keluhan pasien JKN seputar diskriminasi, diminta beli obat sendiri, menunggu berbulan - bulan untuk dioperasi, sulit cari kelas perawatan termasuk ICU, PICU, NICU, ruang Isolasi dan lain sebagainya. Dan persoalan itu kerap terjadi di tahun 2015 - 2017.

"Saya hanya menilai, sepertinya direksi BPJS Kesehatan tidak belajar dari persoalan sebelumnya dan tidak mau mencari solusi atas masalah tersebut," ujarnya menambahkan.

Ia pernah menyarankan agar BPJS membentuk Customer Care di rumah sakit yang beroperasi selama tujuh hari dan 24 jam. Hal itu dilakukan agar pasien mudah ditolong. "Tentunya desk tersebut didukung oleh jaringan IT yang mumpuni antarrumah sakit. Jadi kalau ada pasien datang ke RS dan faktanya kamar penuh maka desk ini akan mencarikan ruang perawatan di rumah sakit lain dengan sistem IT yg baik."

Namun, sayangnya BPJS tidak mau membuat desk tersebut. Dan keluhan yang sama berulang dan terus terjadi hingga saat ini.

Menurut Fachmi Idris, BPJS bukan pemain tunggal, banyak sekali sinergi yang harus dilakukan. Selain itu ia mengklaim, bahwa kepuasan peserta BPJS berada di angka 75 persen. “Masyarakat puas begitu kita memulai program ini di tahun 2014,” ujarnya. “Target kita pada tahun 2019 tingkat kepuasan masyarakat itu harus di angka 85 persen,” ujarnya menambahkan.

Menurut dia, angka kepuasan masyarakat 85 persen itu sudah angka yang sangat optimal. Pasalnya, tidak mungkin kepuasan masyarakat pada pelayanan publik itu di angka 100 persen.  “Nah, kalau kita melihat angka yang ada itu, sejauh ini kita on the rack track. Artinya kalau kita bicara kepuasan masyarakat saat ini, kategorinya sudah tinggi. Terakhir di akhir tahun 2017 tingkat kepuasan masyarakat terhadap pelayanan BPJS di angka 79.5 persen.”

Telatnya Pembayaran

Timboel menambahkan, salah satu penyebab rumah sakit terkesan enggan menangani pasien BPJS karena pembayaran klaim yang dinilai lama. "Ada beberapa alasan rumah sakit menolak pasien JKN. Salah satunya tarif INA CBGs yang belum sepenuhnya diterima rumah sakit. Sehingga rumah sakit lebih suka menerima pasien umum dengan pembayaran fee for service," ujarnya.

Selain itu, sistem pembayaran klaim yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke rumah sakit paling lambat 15 hari kerja. Menurut laporan Asosiasi Rumah Sakit Swasta, per 15 November 2017 ada 164 rumah sakit yang belum dibayar dengan total tunggakan sebesar Rp3,1 Triliun. "Aturan ini yang sering mengganggu cash flow rumah sakit.”

Namun hal ini dibantah Sugiono. "Bukan soal pembayaran. Menurut saya resume medis dari hasil pemeriksaan juga harus dikirim," ujar Dirut RSUD Cengkareng ini.

Menurut dia, ada proses pencocokan medis yang membutuhkan waktu untuk diperiksa. Semua bukan hanya soal invoice dan pembayaran semata. "Kalau sudah diperiksa, dan dinyatakan benar atau clear, baru mereka bayar, itu waktu memeriksanya 15 hari. Itu baru satu rumah sakit di Jakarta. Kalau di seluruh rumah sakit di Jakarta  ada 180 rumah sakit, berapa ratus ribu resume medis orang yang harus diperiksa, jadi agak wajarlah kalau telat satu atau dua hari," ujarnya membela.

Namun ia mengakui, keterlambatan pembayaran akan berdampak signifikan pada rumah sakit swasta. Pasalnya, hal itu akan mengacaukan sistem cash flow. "Swasta yang kasihan. Mereka harus memutar uang dan tidak dapat subsidi. Kalau telat sampai berhari-hari atau berminggu-minggu. Karena mereka kan butuh untuk operasional. Kalau kita listrik kan dibayarin sama pemerintah DKI. Tapi kalau mereka itu kan harus bayar listrik dengan cara mutarin uang dari BPJS."

Hal senada disampaikan Fachmi Idris. Menurut dia, membayar klaim itu harus sesuai dengan prosedur. Menurut dia, ada mekanisme terkait klaim yang masuk. Selain itu ada syarat yang harus dipenuhi. Pertama soal mutu dokumen. Kedua terkait mutu medik yang harus direview. “Nah, kalau itu semua sudah masuk, data mediknya lengkap dan verified itu waktunya 15 hari harus dibayar. Kalau 15 hari tidak dibayar, BPJS kena denda,” ujarnya.

Sorot BPJS - pelayanan rumah sakit

Pasien penderita katarak menjalani operasi katarak gratis di Rumah Sakit Pertamina Cilacap (RSPC), Cilacap, Jawa Tengah, Minggu (24/12). (ANTARA FOTO/Idhad Zakaria)

Defisit Anggaran

Sejumlah kalangan menduga, keterlambatan pembayaran karena BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran. Pasalnya, sejak program ini diluncurkan pada Januari 2014, BPJS Kesehatan selalu mengalami defisit.

Menurut data yang berhasil dihimpun, pada 2014, defisitnya mencapai Rp3,3 triliun. Tahun 2015 defisit meningkat menjadi Rp5,7 triliun. Dan pada 2017 perhitungan Kementerian Keuangan, BPJS Kesehatan defisit hingga Rp9 triliun rupiah. Kekurangan dana ini disinyalir karena timpangnya penerimaan dari iuran peserta dengan beban jaminan kesehatan yang harus ditanggung BPJS Kesehatan. 

Menteri Kesehatan Nila Moeloek membenarkan. "Defisit memang betul," ujarnya kepada VIVA.

Ada beberapa alasan yang membuat BPJS Kesehatan selalu defisit anggaran. Salah satunya karena kecilnya iuran atau premi dari masyarakat.  Untuk kelas I sebesar Rp80 ribu, kelas II Rp51 ribu, dan kelas III hanya Rp25.500. Sementara, jumlah kepesertaan mengalami lonjakan.

Peserta BPJS yang awalnya hanya 92,3 juta jiwa dalam setahun melonjak menjadi 146,7 juta jiwa pada 2015. Lonjakan kembali terjadi pada 2016 menjadi 177,8 juta jiwa dan tahun 2017 menjadi 183 juta jiwa. Sementara, melonjaknya jumlah peserta tak berbanding lurus dengan pendapatan. Pasalnya, banyak peserta yang malas membayar iuran.

Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan, defisit angaran pada akhir 2017 itu sudah tertutupi oleh anggaran yang diberikan pemerintah. "Sampai akhir tahun 2017 kemarin sudah tidak ada lagi itu (defisit). Kami mendapatkan tambahan dari APBNP dan dari PBI. Sekarang itu sudah tertutup semua," ujarnya kepada VIVA, Kamis 11 Januari 2018.

Mardiasmo juga menyebutkan, ada bantuan lain dari pungutan pajak rokok dan tembakau PMK di bea cukai yang mencapai 1,48 triliun. "Itu kan juga bisa untuk perbaikan supply side. Jadi itu untuk buat membangun Puskesmas, kesehatan, obat dan sebagainya." 

Agar lebih baik, pemerintah akan melakukan beberapa hal terkait pelayanan. Salah satunya efisiensi pengeluaran dan iuran. "Iuran harus ditingkatkan tapi juga harus efisiensi pengeluaran. Efisiensinya yaitu dorong agar masyarakat tidak jatuh sakit lebih berat karena pengeluaran lebih tinggi. Dorong preventif dan promotif. Kita penguatan yankes di primer. Ini harus dilakukan untuk kurangi defisit," ujar Menkes.

Menurut Fachmi Idris agar anggaran berimbang, pengeluaran dan pendapatan harus sama. Berdasarkan hitungan, iuran saat ini belum sesuai dengan angka ideal. Untuk itu, program ini structurally unfunded. “Kondisi defisit ini sudah diprediksi sejak awal,” ujarnya.

Sorot BPJS - layanan BPJS - loket BPJS

Sejumlah calon peserta BPJS Kesehatan antre menunggu penyelesaian adminitrasi di kantor BPJS Lhokseumawe, Aceh, Senin (15/5). (ANTARA FOTO/Rahmad)

Dalam proses pengesahan Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan, sesuai regulasi yang terlibat adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional. Semua pihak tersebut mendalami prediksi terjadinya defisit, jauh sebelum terjadi. “Artinya, dalam hal ini setahun sebelum program berjalan, sudah diketahui bahwa program JKN KIS akan terjadi defisit,” ujar mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia ini menambahkan.

Namun defisit ini diantisipasi bersama, termasuk pilihan dan komitmen Presiden Jokowi untuk mengatasi defisit tersebut melalui anggaran negara. Bukan dengan menaikkan iuran atau mengurangi manfaat program. “Inilah komitmen yang luar biasa dari pemerintah untuk tetap menghadirkan negara bagi rakyatnya di sektor kesehatan,” ujarnya.

Guna mengatasi kondisi ini, ke depan pemerintah akan melakukan sejumlah langkah. Di antaranya suntikan dana, optimalisasi tata kelola Program JKN-KIS. Ada pula opsi pembiayaan melalui kontribusi cukai rokok untuk biaya pelayanan kesehatan.

“Tata kelola yang baik (good governance) dalam Program JKN-KIS menjadi hal mendasar yang harus dilakukan oleh semua stakeholder yang memiliki peran dalam program ini, bukan hanya BPJS Kesehatan.” (mus)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya